Monday, October 02, 2006

Sedikit Tentang Wayang Kancil...

Dikenal dan diakui dunia, tersingkir di negeri sendiri. Begitulah nasib kesenian tradisional, khususnya kesenian wayang. Seiring perkembangan jaman, kesenian tradisional itupun tenggelam oleh arus modernisasi.

Generasi muda semakin lesu dan jauh dari seni tradisi milik bangsanya sendiri. Keberadaan seni tradisional yang dikenal adi luhung itu tergilas dengan perkembangan teknologi yang mampu menghasilkan karya-karya modern yang kemasannya jauh lebih menarik.

Kesenian tradisional yang sarat makna dan penuh dengan pelajaran hidup hendaknya dipelajari dan dilestarikan, seperti halnya kesenian wayang. Bukan hanya karena produk wayangnya kesenian itu dilestarikan. Melainkan isi dari cerita yang diangkat dalam kisah-kisah pewayangan itu.

Jika kesenian wayang sendiri sudah tidak diminati lagi, bagaimana bisa pesan-pesan tentang kehidupan dalam kisah pewayangan bisa tersalurkan. Kekhawatiran seperti itulah yang sampai saat ini dirasakan para pelaku kesenian wayang.

Kondisi seperti itu bukan baru saja kita rasakan. Keberadaan kesenian tradisional wayang yang sudah tersingkir itu sudah kental dirasakan sejak puluhan tahun lalu. Berawal dari sebuah pembicaran para pelaku seni di Yogyakarta, seorang seniman senior waktu itu, Ki Ledjar Soebroto, memulai memikirkan cara untuk mengenalkan kesenian tradisional wayang kepada anak-anak. Upaya itu bertujuan agar kesenian wayang tidak ditinggalkan generasi penerus bangsa.

Saat itu di tahun 1980, seniman tatah sungging wayang itu memiliki kesibukan membuat topeng hewan yang dipergunakan untuk acara karnaval. Kesibukannya itu mengingatkannya akan banyaknya cerita binatang yang saat itu kurang dimanfaatkan untuk pendidikan budi pekerti dan lingkungan hidup, terutama kecintaan terhadap binatang.

Akhirnya pria yang lahir 20 Mei 1938 itu membuat boneka wayang binatang. Jenis-jenis binatang yang dibuat ada di dalam dongeng Kancil yang pernah di dengarnya. Seperti binatang kancil, buaya, gajah, ular, ayam jago, burung gagak, bangau, harimau. Ada sekitar 40 boneka binatang yang berhasil dibuat ketika itu.

Untuk pertama kalinya, Wayang Kancil ciptaan Ki Ledjar dipentaskan di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, pada Agustus 1980 di Gelanggang Mahassiswa diiringi musik gamelan Jawa oleh Keluarga Kesenian Mahasiswa UGM.

Keberadaan Wayang Kancil terus dikembangkan. Bahkan, ketika itu, pada tahun 1981 seorang warga Belanda bernama Riens Bartmans (meninggal September 1994) tertarik untuk dibuatkan Wayang Kancil untuk dipentaskan di negaranya, karena buku yang berkisah tentang Kancil ternyata ada di Belanda.

Riens Bartmans adalah seorang dhalang wayang purwa yang menimba ilmu di Surakarta. Di negaranya, pementasan Wayang Kancil yang diperuntukkan untuk anak-anak mendapat sambutan luar biasa.

”Dia selalu kirim surat kepada saya kalau pementasan Wayang Kancil di negaranya mendapatkan sambutan bagus. Itu yang membuat saya semakin semangat mengembangkan Wayang Kancil di negeri sendiri,” kata seniman yang lahir di Sapuran, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah itu.

Ledjar menceritakan, Wayang Kancil berdasarkan catatan sejarah sudah ada sejak Kasunanan Giri (1478-1688) di Gresik. Pakem Wayang Kancil itu dipakai untuk berdakwah di wilayah pesisir seperti di pulau Jawa, Madura, Kalimantan, Lombok.

Tokoh idola Kancil diciptakan oleh Kanjeng Sunan Giri I (Raden Paku) untuk mengangkat derajad kaum laki-laki sebagai lelaki sejati sekaligus sebagai pahlawan nusantara sejati.

Pada waktu itu tokoh laki-laki dianggap sebagai Sunan Giri I sebagai tokoh yang melambangkan ambiguitas dan kontrovesial, seperti tokoh Raden Panji Inu Kartapati (dalam cerita Panji), Raden Arjuna (dalam cerita Mahabharata) dan Prabu Ramawijaya (dalam cerita Ramayana).

Setelah lama tenggelam, tahun 1925, Wayang Kancil mulai dipertunjukkan lagi, oleh Raden Mas Sajid. Ketika itu Raden Mas Sajid berpendapat bahwa Wayang Kancil dibuat oleh seorang Thionghoa yang bernama Bah Bo Liem.

***

Pementasan Wayang Kancil dimainkan dengan durasi waktu rata-rata satu jam. Pementasan Wayang Kancil pada awal kelahirannya disisipkan pada saat pementasan Wayang Purwa, yaitu dimainkan sebagai pembuka, yang targetnya untuk penonton usia anak. Hal itu dilakukan sebagai cara untuk mendekatkan anak kepada kesenian wayang.

Durasi waktu akan bisa lebih lama (dua jam), jika pementasan Wayang Kancil digelar tunggal, tidak disisipkan dengan pagelaran Wayang Purwa. Bahasa yang digunakan dalam pementasan juga melihat situasinya. Kadang kalanya juga menggunakan bahasa Jawa Ngoko secara utuh.

Namun, jika dipentaskan di depan anak-anak sekolah setingkat TK/SD, tidak menutup kemungkinan menggunakan bahasa campuran; Bahasa Jawa dan Indonesia. Dewasa ini, Wayang Kancil sering dipentaskan menggunakan bahasa Indonesia, mengingat banyak anak sekarang yang kurang memahami bahasa Jawa. Namun, iringan lagu dalam pagelaran Wayang Kancil tetap memakai bahasa Jawa.

Pada perkembangannya, mulai tahun 1993, iringan musik untuk Wayang Kancil digarap dengan gendhing-gendhing dolanan anak, seperti ’Sluku Sluku Bathok’, ’Aku duwe Pithik’, ’Kupu Kuwi’ dan ’Gundul Pacul’. Bahkan, lagu anak-anak yang berbahasa Indonesia juga digarap, antara lain; ’Lihat Kebunku’, ’Naik Kereta Api’, ’Sayonara’, ’Dondong Apa Salak’, ’Bintang Kecil’, ’Satu Satu Aku Sayang Ibu’. Ki Ledjar juga menciptakan lagu yang bertema kepahlawanan tokoh Kancil, yang berjudul ’Kancil Pahlawan’, dalam bahasa Indonesia.

Wayang Kancil yang setiap pementasan selalu menekankan cerita pada pendidikan budi pekerti dan cinta lingkungan itu bisa menggunakan cerita binatang yang ada di Indonesia.

Misalnya saja untuk versi cerita binatang Indonesia versi Jawa, ada ”Serat Kancil Amongsastro” tulisan Kyai Rangga Amongsastro, pujangga pada pemerintahan Paku Buwana V di Surakarta. ”Serat Kancil naskah Van Dorp (Serat Kancil, awit kantjil kalahiraken ngantos dumugi pedjahipun wonten ing nagari Mesir, mawi kasekaraken)”. Kemudian masih ada lagi ”Sekar Kancil Kridamartana”, dan ”Serat Kancil Salokadarma”.

Cerita-cerita binatang di Indonesia sangat banyak, di Melayu, misalnya, ada ”Hikayat Palandoek Djinaka” dan ”Sja’ir Palandoek Djinaka”. Dari tanah Sunda dikenal dongeng bernama ”Sakadang Peutjang”. Di Aceh, dikenal pula cerita binatang bernama ”Plando’ Kantji”, ”Gelar Plando’ ”dan ”Hikajat Nathruan ade (Kinah Hiweuen)”.

***

Wayang Kancil yang digali Ki Ledjar sudah merambah ke mancanegara. Di luar negeri, Wayang Kancil bisa ditemua di beberapa tempat. Di Inggris, koleksi Wayang Kancil dimiliki seseorang bernama Tim Byar-Jones. Di Jerman, bisa ditemui di Ubersee-Museum, Bremen. Di Belanda, koleksi Wayang Kancil bisa ditemui di salah satu museum di kota Groningen yang bernama Volkenkunding Museum Gerardus van der Leeuw.

Di New York Amerika Serikat, koleksi Wayang Kancil dimiliki Tamara Fielding. Perusahaannya yang bernama Tamara and the Shadow Theatre of Java ”Wayang Kulit”, bergerak dibidang pelayanan pertunjukan, ceramah dan lokakaya mengenai wayang kulit.

Di Kanada, beberapa Wayang Kancil telah dikoleksi Dominigue Major dan pernah dipamerkan di Museum of Anthropology milik University of British Columbia. Wayang Kancil juga sudah menyebar ke Jepang dan Prancis.

”Saya heran. Meskipun keberadaan kesenian wayang (Kancil) sudah dikenal di luar negeri, tetapi di negara kita sendiri malah tidak mengakar. Dunia saja mengakui keampuhan kesenian wayang, kenapa justru di Indonesia sendiri kesenian wayang terabaikan,” kata Ledjar.

Pria berkacamata itu menambahkan, perhatian pemerintah sendiri untuk mendukung perkembangan kesenian tradisional wayang sangat lemah. Padahal, di beberapa negara di luar Indonesia, seperti Inggris, justru ada yang memakai kesenian wayang kancil untuk pendidikan terutama di tingkat TK/SD. Diprakasai oleh Sarah Bilby, mahasiswi School of Oriental and African Studies (SOAS) Inggris.

***

Meskipun sudah mendunia, keberadaan Wayang Kancil masih belum mendapat dukungan penuh, terutama dari pemerintah. Keberadaan Wayang Kacil yang menekankan pada cerita-cerita binatang yang sarat dengan ajaran budi pekerti dan cinta lingkungan hidup itu belum bisa dikembangkan di Indonesia.

Selama ini, menurut Ki Ledjar, pemerintah kurang tanggap dengan perkembangan kebudayaan yang ada di negaranya. Mereka kurang peka terhadap keistimewaan budaya di bangsanya sendiri.

“Seharusnya pemerintah seperti departemen pendidikan maupun pariwisata tanggap akan potensi budaya yang ada. Tidak dibiarkan saja. Jika tidak ada perhatian, lama-lama kesenian tradisional akan punah.”

Ki Ledjar sebagai tokoh yang menggali Wayang Kancil juga pernah melakukan upaya untuk memasuki wilayah pendidikan setingkat TK/SD. Meskipun tanggapan siswa sangat bagus, akan tetapi tidak ada dukungan dari institusi pendidikan. “Wayang Kancil sendiri sangat pas untuk media pendidikan, guna menanamkan pendidikan budi perkerti dan lingkungan hidup.”

Meskipun berat dan banyak kendala, seniman yang beralamatkan di Jl Mataram DN I/370 itu tetap memiliki semangat untuk terus menghidupkan kesenian Wayang Kancil. “Kita tetap tidak gentar dan maju terus.”

Ki Ledjar menyadari, kesenian tradisional wayang sudah jauh dari masyarakat Indonesia. Dirinya tetap memiliki tekad untuk mengimbangi masuknya budaya asing melalui Wayang Kancil yang digalinya.

Budaya yang impor dari luar negeri harus diimbangi. Saya memiliki harapan untuk bisa mengimbanginya dengan budaya wayang ini. Kita harus bertekad untuk bisa mengenalkan dan menanamkan kesenian tradisional wayang ini kepada generasi penerus sejak anak-anak.”

Sekarang ini, generasi muda sudah jauh dari budayanya sendiri. Sosialisasi tentang Wayang Kancil yang diberikan ke beberapa sekolah oleh Ki Ledjar sulit diterima siswa. Sosialisasi wayang memakai bahasa Jawa juga sulit dipahami siswa. Hal itu dikarenakan pendidikan bahasa Jawa juga tidak serius diajarkan.

“Keberadaan kesenian tradisional wayang harus kita pertahankan dan kita lestarikan. Bukan karena wayangnya, melainkan muatan-muatan ceritanya yang bisa diambil manfaatnya,” kata anak angkat dhalang kondang Ki Nartosabdo itu.

Ki Ledjar berharap, pemerintah bisa menjadi pelopor utama dalam pelestarian kesenian tradisional wayang. Kesenian wayang sebagai wujud kekayaan budaya bangsa saat ini kondisinya sudah mulai termarjinalkan. Pemerintah hendaknya sesegera mungkin berupaya untuk menjaga kelestariannya agar tidak punah. Apapun kesenian tradisioanal itu dan dari pulau manapun kesenian tradisional itu dilahirkan, pemerintah harus bertanggungjawab untuk memelihara dan mengembangkannya. (sulistiono)

No comments: