Thursday, September 21, 2006

Pelajar SD Terjaring Operasi

Operasi pelajar rutin yang dilakukan Dinas Ketertiban, Kepolisian dan Dinas Pendidikan dan Pengajaran kota Yogyakarta berhasil mengamankan sembilan pelajar. Dua pelajar diantaranya siswa kelas V SD salah satu sekolah di kota pendidikan itu. Dua bocah berseragam SD itu tertangkap basah ketika sedang asyik bermain game di Genesis Game Online di Jl AM. Sangaji.

Sedangkan untuk tujuh pelajar yang tertangkap dalam operasi pelajar itu merupakan siswa SMA dan SMK di Yogyakarta. Saat ditangkap para siswa tersebut mengaku bahwa kegiatan belajar mengajar di sekolah mereka sudah selesai.

Kegiatan operasi pelajar yang diselenggarakan, Rabu (20/9) itu, petugas menyisir semua lokasi yang disinyalir sering digunakan para pelajar untuk bolos sekolah. Seperti di Mall, tempat game, dan jalan-jalan umum yang sering dipakai nongkrong saat jam sekolah, seperti Jl Robert Walter.

Meiyanto, Komandan Operasi Lapangan Dinas Ketertiban Kota Yogyakarta, mengungkapkan, operasi pelajar tersebut merupakan kegiatan rutin yang dilakukan pemerintah kota (Pemkot) Yogyakarta.

Operasi pelajar sendiri dilakukan dalam rangka untuk menjaga keamanan, ketertiban dan ketentraman kota Yogyakarta yang sudah dikenal sebagai kota pendidikan. Apalagi, banyak sekali warga di luar kota yang menyekolahkan anaknya di Yogyakarta.

”Banyak warga masyarakat di luar kota Yogyakarta yang menyekolahkan anaknya di sini (Yogyakarta). Sehingga dengan adanya operasi seperti ini diharapkan bisa meminimalisir kenakalan pelajar. Mereka di Yogyakarta ini memang disekolahkan orang tuanya untuk belajar yang rajin, bukannya untuk bermain di saat jam pelajaran,” terangnya. (sulistiono)

Thursday, September 14, 2006

Bisnis Eceran Ditengah Arus Modernisasi

Merebaknya pasar-pasar modern di Indonesia berdampak pada persaingan ketat dengan pasar tradisional. Peraturan yang memihak keberadaan pasar modern akan mematikan pasar tradisional.

Begitu juga di Yogyakarta, keberadaan mall selalu bertambah. Melihat agresifitas pasar modern tersebut, tidak menutup kemungkinan pasar modern akan berkembang dengan pesat di kota-kota kecil.

Pengusaha sangat jeli membidik peluang dan kesempatan, bahkan kalau perlu tidak menunggu atau mencari, tetapi menciptakan peluang sendiri. Larangan kehadiran pasar modern di lingkup daerah tertentu diterobos melalui model minimarket atau supermarket dalam kapasitas yang lebih kecil.

Saat ini makin banyak minimarket hadir di permukiman-permukiman yang jauh dari pusat kota, baik yang berbentuk franchise atau waralaba maupun milik perseorangan. Penampilannya yang menarik dengan harga agak miring membuat orang suka.
Kehadiran bisnis ritel atau eceran modern semacam hypermarket, supermarket, department store, serta pusat grosir atau kulakan memang tak terelakkan sebagai bagian dari kemajuan dan perkembangan zaman.

Sekarang ini aktifitas belanja bukan lagi sekadar kegiatan membeli barang-barang yang dibutuhkan, melainkan juga rekreasi. Untuk memenuhi fungsi di luar transaksi tersebut penampilan dan penataan yang menarik menjadi suatu tuntutan.

Menghadapi serbuan bisnis eceran modern yang makin menyesakkan, sebenarnya telah ada upaya memperbaiki penampilan pasar tradisional yang selama ini dicitrakan becek, kumuh, semrawut, dan tidak ada kepastian harga. Pemerintah kota (Pemkot) Yogyakarta, misalnya, sudah melakukan upaya itu. Seperti dibuatnya pasar buah Giwangan, maupun pasar Ikan higienis yang saat ini sudah dalam tahap persiapan untuk buka.

Bagaimanapun dan apa pun yang terjadi bisnis eceran tradisional, khususnya yang berbentuk pasar tradisional, perlu diberi hak hidup agar tidak mati secara perlahan-lahan akibat desakan bisnis ritel modern.

Pertimbangan utamanya adalah di sana ada pelaku-pelaku ekonomi kecil yang jumlahnya dominan dalam sistem perekonomian kita, yakni para pedagang kecil. Bahkan usaha seperti itulah, yang saat puncak krisis moneter tahun 1998 masih mampu bertahan dan eksis.

Maka dari itu, jangan sampai mereka pun gulung tikar satu demi satu bersamaan dengan kebangkrutan pasar, tempat mencari penghidupan. Jika itu yang terjadi, akan menambah persoalan bangsa ini yang terus berkutat dari satu krisis ke krisis lainnya, terutama di sektor ekonomi. Jumlah penganggur tentu meningkat dan berpotensi memunculkan masalah sosial beserta dampak lain yang tidak Diinginkan.

Demi menyelamatkan pasar tradisional itu, sangat dibutuhkan keberpihakan para penentu kebijakan. Berdasarkan fakta yang ada saat ini, kiranya tidak bisa menghambat pesatnya bisnis eceran modern karena keberadaannya juga menjadi suatu kebutuhan masyarakat, meskipun tidak dalam persentase besar, yakni hanya untuk kalangan menengah ke atas.

Pengaturan dan penegakan peraturan sangat diperlukan, agar bisnis eceran tradisional bisa tumbuh dan hidup berdampingan dengan bisnis eceran modern. Butuh regulasi yang membatasi wilayah yang boleh didirikan fasilitas pusat-pusat perbelanjaan modern, baik berupa hypermarket, supermarket, department store, grosir, dan sejenisnya. (sulistiono)

Buruknya Kualitas Udara di Yogya

Kualitas udara di kota Yogyakarta terus memburuk. Berdasarkan hasil uji kualitas udara ambient di 11 lokasi, menunjukkan kualitas udara di kota pendidikan itu melebihi baku mutu/standar lingkungan.

Hal itu dikatakan Ika Rostika, Kepala Bidang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Dinas Lingkungan Hidup Kota Yogyakarta, Rabu (13/9).

11 lokasi yang diuji kualitas udaranya antara lain, di Jl. Malioboro, Simpang empat Gramedia, Jl Laksda Adisutjipto, Borobudur plaza, Jl Kusumanegara, simpang empat Kantor Pos Besar, simpang empat Wirobrajan, Jl Jlagran, simpang empat Tugu, simpang tiga Kotagede, dan Jl C. Simanjuntak.

Dari uji kualitas udara dengan parameter CO, Debu, SO2 dan Pb, menunjukkan kualitas udara di Yogyakarta melebihi baku mutu ambient. Standar baku mutu untuk CO;30.000 µg/m3, Debu ;230 µg/m3, SO2 ;1300 µg/m3, dan Pb; 2 µg/m3.

Ika mengatakan, pertumbuhan kendaraan bermotor di kota Yogyakarta yang cepat dan tinggi yang tidak dibarengi dengan kesadaran menjaga kualitas udara akan terus memperburuk kualitas udara.

Selama ini, kata dia, pihaknya telah melakukan beragam upaya seperti uji emisi, penanaman pohon di perkotaan, belum membuahkan hasil. ”Selama ini kita hanya melakukan kampanye untuk menjaga kualitas udara. Akan tetapi, upaya itu belum maksimal.”

Ika mengatakan, untuk mengatasi maalah kualitas udara, saat ini sedang dibahas rancangan peraturan daerah (Raperda) tentang penanggulangan pencemaran udara di pemerintah propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). “Dengan adanya raperda tersebut, diharapkan mampu mengendalikan kualitas udara yang semakin hari semakin bertambah buruk.”

Menurut dia, pihaknya akan selalu berusaha untuk melakukan perbaikan kualitas udara, mengingat berbagai macam gangguan kesehatan ndapat ditimbulkan oleh udara kotor. Misalnya saja, bahaya gas buang kendaraan bermotor, seperti CO; bisa mengurangi jumlah oksigen di dalam darah, dalam jumlah kecil, bisa mengakibatkan gangguan berfikir, penurunan refleks, gangguan jangtung. Apabila dalam jumlah besar bisa menimbulkan kematian. Selain itu,unsur Pb dalam gas buang kendaraan bermotor bisa meracuni sistem pembuluh darah merah dan bisa menyebabkan anemia, tekanan darah tinggi, mengurangi fungsi reproduksi dan ginjal, dan jika mengenai anak-anak bisa menyebabkan penurunan kemampuan otak serta megurangi kecedasan. (sulistiono)

Wednesday, September 13, 2006

Penjual Bahan Bangunan Dihimbau Tidak Naikkan Harga

Pengusaha bahan bangunan dihimbau tidak menaikan harga, menjelang akan dimulainya pembangunan rumah roboh dan rusak berat akibat bencana gempa 27 Mei lalu.

Korban gempa dipastikan akan serentak memulai aktivitas membangun rumahnya yang roboh atau rusak berat, karena mereka akan menerima dana bantuan dari pemerintah 1 Oktober mendatang.

“Karena banyak yang akan membangun rumah tentu saja akan banyak permintaan bahan bangunan. Dari sisi hukum ekonominya, dalam kondisi seperti itu tidak menutup kemungkinan para pengusahan menaikkan harga,” kata Eko Suryo, Kepala Dinas Pemukiman dan Prasarana Wilayah (Kimpraswil) Kota Yogyakarta, Selasa (12/9).

Menurut dia, pihaknya sudah mengirimkan surat himbauan kepada seluruh pengusaha bahan bangunan di kota Yogyakarta, untuk tidak mengambil kesempatan karena masyarakat kondisinya sedang susah.

Eko mengaku, pihaknya juga tidak bisa berbuat banyak karena semuanya akan ditentukan di pasaran. Pengendalian harga di pasaran pasti akan sulit. Sehingga, upaya yang dilakukan untuk mengantisipasi melonjaknya harga, pihak pemerintah kota (Pemkot) Yogyakarta telah melakukan proses daur ulang sampah material bangunan yang tercecer akibat gempa, menjadi pasir. Hasil dari daur ulang tersebut akan dipasarkan kepada masyarakat dengan harga murah. Lokasi daur ulang dilakukan di eks terminal Umbulharjo.

Namun demikian, berdasarkan pantauan Media Indonesia di lokasi, sampai dengan saat ini belum ada aktivitas daur ulang sampah material bangunan tersebut. Sampah material bangunan masih memenuhi lokasi eks terminal Umbulharjo.

Sementara itu, untuk mengantisipasi terjadinya gejolak di masyarakat paska pengiriman dana bantuan, diserahkan sepenuhnya kepada fasilitator senior yang akan direkrut pemerintah. Untuk itu, fasilitator yang bertugas untukmenjebatani semua persoalan masyarakat tersebut adalah tokoh masyarakat setempat.

“Dengan petugas fasilitator senior maupun fasilitator yunior yang semuanya berjumlah riga orang itu bisa mengatasi semua persoalan yang ada di lapangan. Jadi upaya kita lebih pada upaya persuasif untuk mencegah jangan sampai terjadi gejolajkdi masyarakat,” kata Eko.

Ditegaskan pula, bahwa korban gempa yang rumahnya roboh ataurusak berat yang sertifikat tanahnya hilang segera diurus. Karena korban yang tidak memiliki sertifikat tidak akan mendapatkan bantuan. Bagi yangs ertifikatnya hilang bisa meminta surat keterangan ke BPN (Badan Pertanahan Nasional) kota Yogyakarta.

“Setelah itu korban juga harus mengurus IMBB (Ijin Mendirikan bangun-Bangunan). Jadi semua korban gempa yang rumahnya roboh atau rusak berat yang sudah membentuk Pokmas (kelompok masyarakat) yang jumlahnya delapan hingga 15 orang itu harus melengkapi syarat IMBB untuk mendapatkan bantuan.” (sulistiono)

Friday, September 08, 2006

Shopping Center Yogya Dipindah

Komunitas pedagang buku di kawasan Shopping Center sudah melakukan pengundian tempat dan siap untuk dipindah oleh pemerintah kota (Pemkot) Yogyakarta. Sebanyak 122 pedagang buku tersebut terpaksa dipindah untuk digabungkan ke dalam area taman pintar, kawasan yang akan dikembangkan sebagai kawasan wisata pendidikan.

Harjono, koordinator shopping center, Selasa (19/7) mengungkapkan, pihaknya sudah melakukan pertemuan dan siap dipindah pada 27 Juli mendatang. Berdasarkan pertemuan yang telah dilakukan, semua pedagang mendapatkan jatah sesuai dengan hasil pengundian.

Dikatakan, seusia dengan ketentuan dari pihak pemerintah setempat, para pedagang akan dikenakan harga sewa per 20 tahun. Mengenai harga masing-masing kios akan berfariasi sesuai dengan lokasi kios. Untuk kios yang strategis dikenakan harga yang lebih mahal.

“Harga yang ditawarkan pihak Pemkot Yogyakarta bervariasi mulai dari Rp 10 juta hingga Rp 35 juta. Kita bisa menerima tawaran harga tersebut, karena kita menganggap harganya masih wajar.”

Harjono menambahkan, harga sewa yang dikenakan para pedagang tersebut bisa diangsur selama dua tahun, dengan ketentuan 50 persen per tahun. “Dengan mebayar uang sewa itu kita memunyai hak menempati kios selama 20 tahun. Setiap bulannya, kita masih dikenakan biaya sebesar Rp 50 ribu untuk keamanan, kebersihan dan pemeliharaan,” katanya.(sulistiono)

Edhi Sunarso: Mematung untuk Sejarah Bangsa

Perjuangan panjang dan perjalanan yang rumit dan akhirnya menjadi pematung besar. Menghasilkan karya-karya luar biasa dan menajdi simbol perjuangan bangsa Indonesia. Adalah Edhi Sunarso, kelahiran Salatiga 2 Juli 1932.

Pria yang saat ini sudah berusia senja dan tinggal di Jl Kaliurang Km 5,5 No 72 Yogyakarta. Rambutnya yang sudah memutih dan kulitnya yang keriput tidak memlemahkan semangatnya untuk berkarya seni patung.

Masyarakat umum, mungkin belum tahu persis siapa dirinya. Tetapi pasti sudah mengetahui bahkan sangat menikmati keindahan karya seninya. Tidak kurang dari

14 monumen dan 10 diorama sejarah bangsa Indonesia atas campur tangan keahliannya.

Antara lain, Monumen Tugu Muda ( Semarang), Monumen Selamat Datang (Jakarta), Monumen Pembebasan Irian Barat (Jakarta), Monumen Dirgantara (Jakarta), Monumen Pahlawan Nasional Kolonel Slamet Riyadi (Ambon), Monumen Jenderal Ahmad Yani (Bandung), Monumen Jenderal Gatot Subroto (Surakarta), Monumen Pahlawan Samudera Yos Sudarso (Surabaya), Monumen Pahlawan Samudera (Jakarta), Monumen Pangsa Sudirman di Museum PETA (Bogor), Monumen Pangsa Sudirman Cilangkap (Mabes ABRI) di Jakarta, Monumen Pancasila Sakiti Lubang Buaya (Jakarta), Monumen Yos Sudarso (Biak, Irian Barat), Monumen Pahlawan Tak Dikenal Digul (Papua), Monumen Sultan Thaha Syaifudin (Jambi).

Atau karya diorama sejarahnya, Diorama Sejarah Monumen Nasional, Diorama Sejarah Museum Lubang Buaya, Diorama Sejarah Moseum Pancasila Sakti Lubang Buaya, Diorama Sejarah Museum ABRI Satria Mandala, Diorama Sejarah Museum Keprajuritan Nasional (TMII) , Diorama Sejarah Museum Purba Wasesa (Jakarta). Kemudian Diorama Sejarah Museum Jogja Kembali, Diorama Sejarah Museum Benteng Vredeburgh (Yogyakarta) dan Diorama Sejarah Museum Tugu Pahlawan 10 Nopember Surabaya di Surabaya.

Meski usia sudah sepuh, semangat dia masih terlihat. Bicaranya masih keras dan lantang. Terbuka, apa adanya. Pengalaman hidupnya di masa perjuangan kemerdekaan memberikan spirit tersendiri.

Sosok Edhi tidak bisa dilepaskan dari sejarah perjuangan bangsa ini. Hasil kerja kerasnya di masa kemerdekaan, memvisualkan semangat perjuangan rakyat di jaman revolusi menjadi pelajaran berharga bagi generasi muda. Sehingga, generasi penerus mampu mengenal sejarah perjuangan bangsa yang penuh dengan derita dan pengorbanan.

“Semua karya sejarah di Indonesia ini pada awalnya tidak lepas dari keinginan Bung Karno yang saat itu ingin membuat karya seni perjuangan sebagai wujud tinggalan sejarah untuk generasi penerus bangsa Indonesia,” kenang Edhi.

Bagi dia, keseriusan untuk terus menerus membuat seni patung tidak lain hanya untuk pengabdian kepada bangsa dan negara. Semua patung dan diorama sejarah yang dibuatnya adalah gambaran semangat hidup untuk terus membangun bangsa Indonesia agar terbgun dari keterpurukan.

Dirinya pun tidak melepaskan egonya untuk membuat karya lain yang lepas dari koridor sejarah. Baginya, sebuah karya patung adalah ruang ekpresinya untuk mengungkapkan perasaannya tentang kehidupan ini.

Melalui seni patung dirinya bisa mepresentasikan pikirannya dengan bebas. Untuk itu, setiap karya seninya mengandung pesan darinya untuk bangsa ini. “Melalui seni patung semua pemikiran saya ungkapkan.”

***

Menjadi pematung tidak didapatkannya begitu saja. Perjalanan yang panjang dan tidak pernah lelah dalam belajar. Semanga itu yang telah membawa kehidupannya seperti sekarang ini.

Dengan semangat Edhi menceritakan awal karirnya menjadi pematung. Ternyata dirinya belajar seni bukan karena sekolah. Pada awalnya dia belajar otodidak hingga nasib membawanya pada satu titik puncak perjalanan hidupnya yang sukses menjadi pematung.

Awal perjalanan kehidupannya mulai terasa saat dirinya berumur 13 tahun. Saat itu dia masih menempuh pendidikan Sekolah Rakyat (SR) kelas V di salah satu sekolah di Jawa Barat.

Di usia yang masih terhitung belia itu, dia belum mengenal seni patung. Tepatnya tahun 1946, dia ikut berjuang sebagai komandan pasukan anak-anak dalam kesatuan pasukan Samber Nyawa Divisi I, Bataliyon III, Resimen Siliwangi.

Meskipun masih usia anak-anak, keastuannya memiliki tugas berat. Mengatntar peluru antar kota di Jawa Barat. Dia selalu mengantar peluru dari tentara kerajaan Belanda (KNIL) pro Indonesia, dan di bawa untuk diantarkan kepada pasukan RI di wilayah luar kota. Kegiatan seperti itu dia lakukan setiap kali pulang sekolah.

Selain mengantar peluru, dirinya juga menerima tugas untuk melakukan sabotase kegiatan orang Indonesia yang pro Belanda. Seperti membakar toko-toko milik orang Indonesia atau warga negara asing yanbg pro Belanda, memasang dinamit di jembatan, hingga membakar pabrik-pabrik yang dikuasai Belanda.

Tepat enam bulan, kegiatannya diketahui tentara Belanda, dan dirinya pun diancam. Ancaman itu tidak membuatnya patah semangat. Justru dirinya pun akhirnya meninggalkan tugas itu dan bergabung dengan para pejuang untuk melakukan perlawanan langsung.

Bulan Juli tahun 1946 dirinya ditangkap oleh pasukan Belanda. Dia dipenjara di Pegaden Baru, Jawa Barat. Dirinya dipindah tiga kali ke penjara Subang, Kalijati dan Purwakarta.

Di penjara itulah, di usianya yang masih kecil merasakan, setrum listrik, popor bedil, pukulan, tendangan untuk mau menunjukan dimana persembunyian Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang belum tertangkap. Meskipun mendapat siksaan, dirinya tetap diam seribu bahasa.

Pada suatu saat, dirinya juga sempat dipindah ke Kebon Baru, Bandung, untuk dipenjarakan di TNI CAMP. Di situlah, dirinya bergabung dengan 2.400 pejuang kemerdekaan. Di situ pula dirinya belajar smenggambar, bahasa Inggris, bahasa Indonesia dengan para pejuang.

Bulan Juli 1949, dirinya dibebaskan dari penjara. Selepas menjalani hidup dipenjara selama 3,5 tahun itu, dirinya pergi ke Yogyakarta, melewati Semarang. Dia berjalan kaki sendiri. Kadang pula menumpang mobil tentara belanda. Setelah melakukan perjalanan 24 hari, akhirnya sampai Semarang.

Perjalanan hidupnya memang berat. Sampai di semarang pun dirinya tergeletak sakit dan akhirnya dibawa oleh warga mengetahui kondisinya ke Rumah Miskin Kaligawe (semacam rumah sakit sosial milik Belanda). Dirinya menjalani perawatan hingga dua minggu.

Setelah sembuh dirinya meneruskan perjalanan ke Yogyakarta. Sampai di Salatiga, dirinya ditangkap oleh Tentara RI, karena dicurigai sebagai mata-mata. “Saat ditangkap tentara RI saya beruntung, karena komandan mereka dari solo ( Slamet Riyadi) datang dan memarahi anak buah mereka karena menangkap saya. Saat itu saya tawari untuk bergabung dan berjuang bersama mereka. Dan saya terima tawaran itu,” ceritanya.

Di bawah komando Slamet Riyadi, dirinya bergabung dengan pasukan Brigade SS (salah satu kompi dari brigade 17 Tentara Pelajar di Solo). Dia ditugaskan ke Ampel,Boyolali.

Di wilayah dirinta bertugas itulah dia bertemu dengan keluarganya yang selama ini meninggalkannya. Saat itu Edhi dikira telah meninggal. Dia ketemu dengan keluarganya. Di tempat tugasnya dia ketermu dengan Wiryono (kakak) Darjono (keponakan) dan Suharno (paman).

“Dari kecil saya pisah dengan keluarga karena saya dikira sudah meninggal saat perang kemerdekaan. Padahal saya diselamatkan Ibu Romlah, guru sekolah saya yang akhirnya saya dibawa lari ke jawa barat. Kita tahu kalau kita bersaudara karena wajah saya dengan kaka saya sangat mirip, seperti bercermin dikaca.”

Setelah itu akhirnya dirinya diajak ke rumah bapaknya di Salatiga. Di sana dia ketemu dengan bapaknya, Sukmo Sarjono, lurah di Takalrejo, Dolog, Nusukan, Salatiga. Ketemu dengan keluarga, dirinya merasa haru, tercekik, mencekam dan serba rikuh

“Akhirnya tujuh hari di rumah keluarga saya saya pamit untuk pergi ke Yogyakarta. Sebab, disana saya serba tidak nyaman. Apalagi semua kakak saya sudah berhasil semua dan pendidikannya juga tinggi, sedangkan saya di Sekolah Rakyat saya tidak lulus. Saya pamit ke Yogyakarta dan akan kembali jika saya sudah menjadi orang sukses. Akhirnya saya diberi alamat keponakan saya di Kotagede, Yogyakarta. Namanya Sundari yang tinggal dengan suaminya Wiryo Suparto.”

Saat itulah, dirinya hijrah ke Yogyakarta dan mundur dari pasukan Brigade SS pimpinan Slamet Riyadi. Di Yogyakarta dia mampir di rumah keponakannya di Kotagede. Di sana dia mendaftarkan diri di Kantor Urusan Demobiliasai Pejuang (KPDP) dan selama delapan hari di KPDP, dirinya selalu melewati Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI), tahun 1950.

Ketika melewati ASRI itulah dirinya sering melihat orang berlatih menggambar. Melihat aktifitas menggambar itu, dirinya selalu mengikuti ke mana pun lokasi siswa ASRI menggambar. “Ketika mereka pergi ke pasar untuk menggambar saya ikuti. Ketika mereka ke Malioboro saya ikuti. Lama-lama saya ikut dengan membawa kertas gambar sendiri dan saya juga ikut menggambar,” ungkapnya.

Beruntung, saat itu dirinya didatangi oleh pelukis senior, Hendra Gunawan. Dirinya didekati dan ditanya apakah mau bersekolah di ASRI. Dirinya ditawari itu karena hasil menggambarnya bagus.

“Akhirnya saya terima tawaran dan saya diperbolehkan ikut pelajaran praktek saja. Tidak boleh mengikuti teorinya. Tetapi saya selalu meminjam catcatan teman-teman di sana.”

Di situlah awal karir Edhi Sunarso menjadi pematung profesional. “Wah saat itu rasanya dunia saya mulai terbuka. Rasanya tidak pernah ada malam, karena malam pun saya pakai untuk mematung. Setiap sore hari sebelum petang, saya sisihkan waktu untuk meminjam buku catatan teman-teman di ASRI, karena saya tidak boleh ikut teori namun hanya praktek saja,” katanya seraya mengungkapkan bahwa dirinya baru diterima menjadi mahasiswa resmi setelah tiga tahun mengikuti pelajaran praktek dan lulus dalam ujian ekstra.

Tepat tiga tahun belajar di ASRI itulah, dirinya berhasil juara dua dalam lomba seni patung Internasional di Inggris. Patung itu bertema The Unknown Political Prisoner, pada tahun 1953.

Bersamaan dengan penerimaan juara itu bersamaa dengan peresmian Tugu Muda Semarang. Dirinya terlibat dalam pemnbuatan Tugu Muda Semarang dan dipercaya sebagai koordinator keuangan.“Dalam peresmian itulah saya kenal dengan Bung Karno dan bias berjabat tangan dengan beliau.”

Karirnya di bidang seni patung mulai meroket. Bebrerapa undangan ke luar negeri untuk mengikuti seminar, simposium di Polandia, Romania, China. “Saat itu saya masih berumur 22 tahun. Sepulang dari luar negeri, saya melanjutkan pendidikan di ASRI untuk jenjang opendidikan tingkat empat dan lima.”

Prestasi Edhi terus berkembang. Pada tahun 1957, dirinya mendapat mendali emas dari pemerintah India karena patungnya terpilih menjadi Karya Seni Patung terbaik dunia, periode 1956 -1957.

Atas prestasinya yang bagus, tahun 1958 dirinya diangkat sebagai calon tenaga pengajar di ASRI yang telah berubah nama menjadi STSI (Sekolah Tinggi Seni Indonesia). Tahun 1960 resmi diangkat menjadi pengajar tetap dan diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS). “Tahun 1960 perkembangan seni patung belum bagus. STSI kemudian membuka jurusan seni patung secara tersendiri. Semula seni patung digabung dengan seni lukis. Dirinya pun dipercaya untuk memimpin jurusan itu.”

***

Perkenalan dengan Bung Karno pada peresmian Tugu Muda di Semarang, telah membawa berkah dirinya. Tahun 1959 dirinya dipercaya Bung karno untuk membantu pendirian Museum Nasional, dan kemudian juga dipercaya untuk membuat patung “Selamat Datang” di Jakarta. Patung itu dipersiapkan untuk menyambut para olah ragawan dari luar negeri, dalam Asean Game di Indonesia.

Dirinya sempat berfikir keras untuk menerima tantangan dari Bung Karno itu. Sebab, dirinya pada waktu itu tidak memunyai pengalaman membuat patung besar apalagi yang bahannya dari perunggu.

Saya sempat ragu-ragu karena saya tidak punya pengalaman. Namun, dirinya sangat ingat betul dukungan Bung Karno waktu itu. Kepadanya Bung Karno bilang “Kamu punya kesadaran berbangsa tidak? Kalau punya, kamu pasti bisa! Saya tidak rela kalau patung itu saya suruh buatkan negara lain,” begitu kata Bung Karno kepada Edhi.

Waktu seminggu yang diberikan klepada Edhi untuk berfikir akhirnya tidak disia-siakan. Dengan bantuan teman-temannya di Yogyakarta akhirnya dirinya menyatakan sanggup membuat patung “Selamat Datang” itu. Dan akhirnya patung itu selesai dikerjakannya.

Setelah itu dirinya disuruh membuat diorama sejarah Indonesia untuk monumen nasional. “Saya diminta Bung Karno untuk membuat diorama sejarah perjuangan Indonesia. Tapi saya juga tidak punya pengalaman. Naun Bung Karno bilang tidak ada alasan untuk tidak bisa membuat diorama sejarah perjuangan Indonesia. Bung Karno bilang saya pasti bisa karena saya punya pengalaman perjuangan. Bagaimana pasang dinamit, menembak, bakar rumah musuh. Tantangan Bung karno ini pun saya lakukan.”

Lagi-lagi dirinya diberi semangat Bung Karno untuk membuat diorama itu. Kepada Edhi, ketika itu, Bung karno bilang; “Tega ya bila saya menyerahkan masalah sejarah bangsa ini kepada bangsa asing. Lalu bagaimana cara menggambarkan watak perjuangan bangsa ini untuk sejarah bangsamu kepada anak cucumu nanti”

Mendengar kata-kata Bung karno itu, dirinya memutuskan untuk membuat diorama. Dengan semangat pengabdian, dirinya akhirnya bisa menyelesaikan diorama sejarah perjuangan rakyat Indonesia sesuai keinginan Bung Karno itu.

Menurutnya membuat diorama sejarah tidak mudah. Dirinya harus membaca dulu diskripsi yang disiapkan. Dan kemudian turun ke lapangan (lokasi sejarah yang akan dibikin diorama). “Maka banyak tim untuk membuat diorama ini. Ada yang sejarawan untuk membikin diskripsinya, wawancara tokoh, menelusuri bangunan alam, sampai asesoris yang dipakai manusianya saat itu.

***

Karya karya besar yang Edhi ikut membuat kini menjadi sejarah dalam hidupnya. Tetapi, kebanggaan ternyata tidak dirasakannya hingga akhir usiannya. Karya besar yang dulu dibanggakan sebagai satu-satunya karya dan pengabdian besarnya kepada bangsa dan negara.

Moseum Nasional misalnya. Diorama sejarah perjuangan bangsa Indonesia yang merupakan karyanya saat ini telah rusah dan hancur berantakan, tidak karuan. Padahal dalam satu diorama sejarah ada puluhan patung, bahkan ada yang jumlah patungnya mencapai ratusan.

“Baru-baru ini saya pergi ke moseum nasional untuk melihat kondisi dioramanya. Begitu melihat kondisinya saat ini, saya langsung menangis. Semua sudah bubrah tidak seperti aslinya. Padahal diorama sejarah itu kita buat sesuai dengan kondisi saat itu, dan melibatkan sejarawan saat itu. ”

Diceritakan, diorama sejarah perjuangan itu telah jatuh ke tangan-tangan orang yang tidak becus mengelola dan tidak tahu sejarahnya. Semua diorama dicat minyak dan warnanya tidak sesuai dengan kenyataan sejarah waktu itu.

Kalau ada patung yang rusak, dicabut begitu saja dan tidak diganti. “Semua kegiatan seperti itu, saya tidak pernah diajak komunikasi untuk konsultasi. Padahal saya yang membuat itu. Dan hanya tinggal saya saksi sejarahnya, yang lainnya sudah tidak ada. Ini keterlaluan.”

Patung Ki Hajar Dewantoro, misalnya. Pada diorama sejarah pendidikan Tamansiswa. Dimana diorama itu digambarkan dengan guru dan siswa, kegiatan pengembangan kebudayaan dan logo “Tut Wuri Handayani”. Diorama itu dibuatnya dengan konsultasi dan pertimbangan Ki Hajar Dewantoro.

“Sekarang ini nasibnya sungguh kasihan. Patung Ki Hajar Dewantoro rusak, kepalanya putus. Tetapi patung itu bukannya diperbaiki tetapi dicopot begitu saja dan tidak diganti.”

Sebagai orang yang masih hidup dan yang membuat karya-karya bersejarah, dirinya merasa tidak pernah diajak konsultasi dengan penguasa. “Penguasa sekarang ini pada main borongan saja. Dan, borongan itu diserahkan kepada orang yang tidak tahu sejarah apa-apa. Saya yang membuatnya. Kalau ada apa-apa ya saya diajak konsultasi. Tidak usah bayar!” katanya.

Dirinya pun lantas heran ketemu dengan orang yang bertanggungjawab mengelola diorama itu. Orang itu tidak acuh terhadap semua bahan pembicaraan tentang diorama sejarah perjuangan itu. Tidak ada tanggapan dari apa yang disampaikan Edhi, bahkan ucapannya diabaikan begitu saja. “Saya kadang merasa aneh. Orang itu tidak tahu siapa saya. Padahal saya adalah orang yang membuat diorama itu,” uangkapnya dengan nada kesal.

***

Usia Edhi sudah 74 tahun. Banyak karya yang memakan pikiran, tenaga dan waktunya untuk bangsa Indonesia. Di usianya yang tua itu, Edhi masih keliahatan lincah. Hari-harinya masih disibukan pembuatan patung. Dan, saat ini dirinya sedang menyiapkan dua buku. Buku pertama tentang seni, dan kedua tentang perjalanan pengabdiannya kepada bangsa Indonesia. (sulistiono)