Monday, December 20, 2010

Sonobudoyo.. Apa Kabarmu?

KESIBUKAN terasa di Museum Sonobudoyo pada suatu siang di akhir pekan. Tampak pegawai museum sibuk dengan tanggungjawabnya masing-masing. Rombongan turis turun dari becak di depan museum, dan menapakkan kakinya menuju museum yang diresmikan Sri Sultan Hamengku Buwono VIII pada 6 Nopember 1935 itu.

Sekilas kesibukan di museum itu tampak biasa saja. Seakan tidak ada masalah serius di museum yang terletak di Jl Trikora No 6 Yogyakarta. Padahal, ‘masterpiece’ museum yang berupa koleksi emas kuno hilang dicuri. Siapa dalang di balik pencurian itu masih menjadi teka-teki yang belum terpecahkan.

Raibnya koleksi emas kuno peninggalan zaman Mataram Hindu abad 8-9 tersebut menyimpan tanda tanya besar. Profesionalitas pengelola museum pun dipertanyakan. Sikap pengelola museum yang mendadak tertutup atas kasus pencurian koleksi mengundang kecurigaan tersendiri bagi sebagian kalangan, seperti dari Badan Musyawarah Musea, ICOM (International Counsil of Museums) Indonesia, aktivis masyarakat advokasi warisan budaya (Madya), hingga kalangan arkeolog.

Koleksi emas kuno yang menjadi masterpiece Museum Sonobudoyo ketahuan dibobol pencuri pada 11 Agustus 2010. Pencuri leluasa masuk ke lokasi penyimpanan koleksi emas kuno yang disimpan di ruangan khusus. Bahkan, tidak semua orang bisa masuk ke ruangan itu kalau belum mendapatkan ijin dari pengelola museum.

Pencuri mengambil hampir semua koleksi emas kuno. Tanpa meninggalkan sidik jari. Diduga pelaku pencurian adalah orang yang sudah menguasai betul seluk beluk museum. Sebanyak 75 koleksi yang dikelompokkan dalam 47 jenis koleksi emas kuno digondol maling tanpa jejak.

Banyak pihak merasa kehilangan, baik secara pribadi maupun lembaga. Terutama para pegiat museum, seperti diantaranya dari Badan Musyawarah Musea (Barahmus) Yogyakarta maupun ICOM Indonesia, sebuah lembaga internasional di bawah UNESCO yang memiliki jaringan di 137 negara dengan jumlah member 38.000 museum.

“Pengelola museum tertutup mengenai data detail koleksi emas yang hilang,” kata Sekretaris ICOM Indonesia, Kanjeng Raden Tumenggung Thomas Haryonagoro.

Dengan nada kecewa, dia berpendapat bahwa sikap tertutup pihak pengelola museum justru menjadi tanda tanya besar. Data detail mengenai koleksi emas kuno yang seharusnya bisa diinformasikan secara luas justru ditutup rapat-rapat. Seakan pengelola museum tidak mau berbuat banyak untuk menemukan kembali benda sejarah yang tidak ternilai harganya itu.

“Kita punya jaringan di 137 negara. Dengan data detail koleksi emas kuno yang hilang itu maka jaringan kita di berbagai negara itu bisa membantu kita untuk mencari. Tetapi kenapa justru tidak diperkenankan?”, ungkapnya kesal.

Thomas menduga ada yang tidak beres dalam pendataan benda koleksi di museum. Sejak museum Sonobudoyo berdiri, tidak memiliki katalog yang detail. Artinya, pengelolaan museum tersebut sangat amburadul dan tidak memiliki data yang bisa dipertanggungjawabkan.

“Data yang ada dan diberikan ke kita itu tidak detail sama sekali. Persis kaya data koleksi barang bekas di pasar klitikan,” kata dia yang juga Ketua Barahmus Yogyakarta itu.

Pengelolaan museum yang acak-acakan itu juga tidak hanya terlihat dari minimnya dokumentasi mengenai koleksi yang dimiliki. Tetapi, kompleks museum ternyata juga dipakai untuk penitipan gerobak pedagang kaki lima. Sehingga orang yang tidak berkepentingan dibebaskan keluar masuk area museum sehingga dari segi keamanan museumnya juga sangat rawan.

Arkeolog Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Daud Aris Tanudirdjo, mengungkapkan, hilangnya koleksi emas kuno itu merupakan kehilangan besar bangsa Indonesia. Tidak hanya dari nilai ekononomisnya, tetapi benda tersebut bagian dari bukti perkembangan peradaban suatu bangsa. Sekali benda itu hilang, maka tidak bisa tergantikan. Dan itu merupakan kehilangan besar bagi generasi bangsa berikutnya.

“Hilangnya koleksi museum ini membuktikan kalau pengelolaan museum tidak proporsional,” katanya.

Pengelola museum harus bertanggungjawab. Kalau ada alasan tentang minimnya keamanan dan anggaran, justru hal tersebut merupakan indikasi bahwa pengelola museum ingin lepas dari tanggungjawab. Persoalan pencurian benda koleksi museum harus diusut tuntas dan jangan membuat kebijakan baru sebelum semuanya jelas. Dan, jangan sampai hilangnya benda koleksi tersebut dijadikan momentum untuk meminta anggaran lebih dari APBD maupun APBN.

Dia juga menyesalkan tidak adanya katalog yang detail tentang benda-benda koleksi museum. Yang ada saat ini hanyalah daftar inventarisir benda koleksi saja. Harusnya, pihak museum memiliki katalog benda koleksinya. Sebab, katalog ibaratnya buku harian dari sebuah benda koleksi.Dengan katalog itu, benda koleksi bisa bercerita.

“Menurut saya ada yang tidak beres di museum Sonobudoyo. Apalagi pengelola tertutup kalau imintai data detail soal koleksi museum,” katanya.

Kepala Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Yogyakarta Herni Pramastuti, mengakui, benda purbakala banyak diburu. Sebab, benda purbakala itu memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Harganya bisa sangat mahal dan tidak terukur karena yang dibeli adalah nilai sejarahnya. Semakin tua benda purbakala itu maka semakin mahal harganya.

“Kebobolan Museum Sonobudoyo ini harus menggugah kesadaran bahwa pengamanan museum maupun benda cagar budaya yang lainnya harus ekstra ketat,” katanya.

Kehilangan benda koleksi di Meseum Sonobudoyo yang terbuat dari emas merupakan kehilangan besar bangsa Indonesia. Apalagi, penemuan benda kuno dari emas sangat langka. Yang sering ditemukan rata-rata hanya terbuat dari batu.

Benda purbakala seperti candi saja, kata dia, menjadi incaran pemburu benda purbakala. Pada 2009, BP3 Yogyakarta juga mencatat raibnya jaladwara situs watugudig di kawasan kecamatan Prambanan Sleman. Sebelumnya, pada tahun 2007, artefix candi Banyunibo di kawasan kecamatan Prambanan, Sleman juga hilang, meskipun pada akhirnya bisa ditemukan.

“Kita sering kehilangan arca. Bahkan arca awalokiteswara pernah hilang dan berhasil kita temukan lagi di Singapura. Sekarang arca itu kita taruh di komplek BP3 Yogyakarta,” ungkap Herni.

Museum Sonobudoyo, kata dia, sangat lemah dari sisi keamanannya. Tetapi pihak BP3 Yogyakarta tidak bisa berbuat banyak karena pengelolaan museum tanggungjawab pemerintah daerah.

Berdasarkan evaluasi yang dilakukan BP3 Yogyakarta, pengelolaan Museum Sonobudoyo masih banyak kekurangan, terutama dari sisi pengamanannya. Seperti minimnya petugas keamanannya, CCTV (closed circuit television) yang dipasang hanya manual, tidak ada duplikasi dari benda berharga yang dikoleksi.

Di seluruh provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta ini ada ribuan benda purbakala yang sifatnya bergerak, seperti keris, arca, mata uang, yang disimpan di dalam museum. Sedangkan untuk benda purbakala tidak bergerak seperti candi, jumlahnya mencapai ratusan.

“Jadi benda purbakala yang tidak dijaga dengan baik sangat rawan dicuri,” katanya.

Koordinator Madya, Jhohannes Marbun, mengungkapkan, berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 1995 tentang pemeliharaan dan pemanfaatan benda cagar budaya di museum dan Keputusan Menteri Nomor KM.33/PL.303/MKP/2004 tentang museum, pengamanan koleksi termasuk tugas utama pengelola museum.

Termasuk menyediakan prasarana dan sarana pengamanan. Karena itu, keterbatasan sistem pengamanan yang berakibat pada hilangnya benda koleksi museum, merupakan kesalahan kebijakan dan kelalaian pengelola museum.

“Perlu ada ‘public audit’ oleh tim independen terhadap kinerja Museum Sonobudoyo,” katanya.

Dia juga mengusulkan perlu adanya ‘grand disign’ pengelolaan museum yang ideal. Sebab, pengelolaan museum yang masih carut marut rawan terhadap hilangnya koleksi.

Kepala Dinas Kebudayaan DIY, Djoko Dwiyanto, mengungkapkan, paskapecurian koleksi emas, pihaknya akan menata kembali lokasi, bangunan maupun ruangan koleksi dan memasang alarm. Program itu merupakan rencana jangka pendek yang segera dilakukan.

Untuk jangka menengah, pihaknya akan memikirkan manajemen koleksi agar lebih baik, termasuk menata ulang koleksi yang ada, termasuk sistem pengamanannya. Dan, jangka panjangnya, Museum Sonobudoyo akan dijadikan museum berstandar internasional.

“Kita berharap barang koleksi emas kuno yang hilang bisa kembali dan pelakukan dihukum,” ungkap dia.

Untuk masalah sanksi, kata dia, masih dalam proses. Yang jelas, pihaknya akan memberikan sanksi kepada pengelola museum sesuai dengan ketentuan, dan akan ada perombakan jabatan di Museum Sonobudoyo.

Museum bukan sekedar wahana rekreasi. Museum adalah sumber ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Koleksi-koleksi museum memiliki nilai penting bagi sejarah yang tidak terukur nilainya, dan sangat penting untuk generasi bangsa di masa-masa mendatang. Sampai sekarang, penyidikan atas kasus hilangnya koleksi emas kuno Museum Sonobudoyo masih terus didalami Poltabes Yogyakarta. “Kita terus bekerja dan beri kami waktu untuk menuntaskan kasus ini,” kata Kapoltabes Yogyakarta, Komisaris Besar Atang Heradi. (Sulistiono)


DAFTAR KOLEKSI EMAS MUSEUM SONOBUDOYO YANG HILANG
(Catatan: untuk nama koleksi yang ditulis dua kali karena nomor inventarisasinya berbeda).

1. Tujuh buah bagian kalung
2. Kalung rantai mata kalung susun tiga
3. Kalung rantai bentuk mendalion hiasan sulur batu permata intan
4. Kalung bertampar untir
5. Kalung bertampar untir
6. Kalung rantai liontin segitiga
7. Kalung brondong liontin kecubung ungu muda oval
8. Kalung manik kombinasi emas
9. Kalung rantai liontin bulat telur
10. Kalung rantai bentuk segi enam
11. Bagian kalung seperti artefak
12. Bagian dari kalung seperti biji mete ( 2 buah)
13. Liontin bentuk kroco (4 buah)
14. Liontin bentuk murba
Liontin bentuk murba (3 buah)
15. Liontin bentuk gading
16. Liontin bentuk tanduk
17. Liontin bulan sabit
18. Manik-manik bentuk bulan (37 buah)
19. Hiasan bentuk kura-kura (6 buah)
20. Liontin keongan
21. Fragmen kalung
22. Topeng
23. Siluette orang
24. Pripih bentuk bunga
25. Pripih bentuk cicak
26. Hiasan penutup hidung (3 buah)
27. Pripih bentuk potongan (10 buah)
28. Pripih bentuk lembaran ( 2 unit)
29. Pripih persegi panjang (4 buah)
30. Pripih bentuk naga
31. Arca dewitara
32. Arca Budisatwa
33. Lempengan bentuk bulan
34. Lempengan perak
35. Lempengan perak
36. Lempengan bentuk bulat
37. Arca asobhya
38. Hiasan bulan sabit
39. Lempengan emas (3 buah)
40. Wadah bertutup kotak
41. Wadah bertutup heksagonal
42. Wadah bertutup seperti durian
43. Cepuk bertutup bulat
44. Mangkok dasar berkaki bentuk cincin
45. Mangkok bentuk semanggi
46. Mangkok
47. Mangkok

BerkahNya..

Jika kepala tertunduk lesu. Maka sesungguhnya Allah telah dekat dengan kita. Untuk itulah hendaknya kita senang diberikan keadaan yang dirasa umat manusia itu sebagai kondisi yang meresahkan.

Ketika kelesuan itu datang, maka saat itulah waktu yang tepat untuk koreksi. Seberapa jauh kesalahan dan dosa yang telah kita lakukan. Maka berbahagialah Kalian yang diberi rasa gundah dan resah.

Sungguh salah besar, manusia yang sedang dirundung masalah merasa sakit. Sebenarnya dengan masalah seperti yang Kalian hadapi itulah sebenarnya 'cara' Allah berkomunikasi terhadap semua makluk ciptaannya. Hendaklah kita menjadi pintar dan mau menerima atas segalanya yang menimpa kita semua.

Kemenangan sudah dekat. Mari kita bersama, bersatu padu mewujudkan jiwa damai di bumi ini. Alam yang menghidupi kita ini tidak akan selamat jika manusia tidak terselamatkan. Manusia menjadi tidak selamat karena menganggap masalah menjadi suatu hal yang najis dan harus dihindari. Hiduplah manusia bumi. Hidup dalam arti yang sesungguhnya. (sulistiono)
Renungan 21/09/06

Monday, October 02, 2006

Ibu.. Si Kecil Nakal nee..

Operasi pelajar rutin yang dilakukan Dinas Ketertiban, Kepolisian dan Dinas Pendidikan dan Pengajaran kota Yogyakarta berhasil mengamankan sembilan pelajar. Dua pelajar diantaranya siswa kelas V SD salah satu sekolah di kota pendidikan itu. Dua bocah berseragam SD itu tertangkap basah ketika sedang asyik bermain game di Genesis Game Online di Jl AM. Sangaji.

Sedangkan untuk tujuh pelajar yang tertangkap dalam operasi pelajar itu merupakan siswa SMA dan SMK di Yogyakarta. Saat ditangkap para siswa tersebut mengaku bahwa kegiatan belajar mengajar di sekolah mereka sudah selesai.

Kegiatan operasi pelajar yang diselenggarakan, Rabu (20/9) itu, petugas menyisir semua lokasi yang disinyalir sering digunakan para pelajar untuk bolos sekolah. Seperti di Mall, tempat game, dan jalan-jalan umum yang sering dipakai nongkrong saat jam sekolah, seperti Jl Robert Walter.

Meiyanto, Komandan Operasi Lapangan Dinas Ketertiban Kota Yogyakarta, mengungkapkan, operasi pelajar tersebut merupakan kegiatan rutin yang dilakukan pemerintah kota (Pemkot) Yogyakarta.

Operasi pelajar sendiri dilakukan dalam rangka untuk menjaga keamanan, ketertiban dan ketentraman kota Yogyakarta yang sudah dikenal sebagai kota pendidikan. Apalagi, banyak sekali warga di luar kota yang menyekolahkan anaknya di Yogyakarta.

”Banyak warga masyarakat di luar kota Yogyakarta yang menyekolahkan anaknya di sini (Yogyakarta). Sehingga dengan adanya operasi seperti ini diharapkan bisa meminimalisir kenakalan pelajar. Mereka di Yogyakarta ini memang disekolahkan orang tuanya untuk belajar yang rajin, bukannya untuk bermain di saat jam pelajaran,” terangnya. (sulistiono)

Jika Ibu-Ibu pada Sehat...

Sebanyak 225 ibu rumah tangga dari keluarga tidak mampu mengikuti program papsmear gratis, sebagai upaya untuk meminimalisir jumlah penderita kangker leher rahim.

Kegiatan yang diselenggarakan Yayasan Kangker Indonesia (YKI) Cabang Kota Yogyakarta dan Dinas Kesehatan setempat tersebut, bermaksud untuk deteksi dini agar penyakit kangker leher rahim dapat cepat ditangani dan bisa disembuhkan 100 persen sehingga tingkat kematian akibat penyakit itu juga menurun.

Ketua YKI Cabang Kota Yogyakarta, Dyah Suminar, mengatakan, saat ini pemeriksaan papsmear sudah dapat dilayani di seluruh puskesmas yang tersebar di Yogyakarta. Penderita yang periksa dikenakan biaya Rp 35.000.

Biaya pemeriksaan tersebut masih tergolong mahal. Sebab, puskesmas masih belum memiliki laboratorium patologi sendiri. Sedangkan biaya laboratorium sendiri Rp 25.000. “Kita mengharapkan suatu saat puskesmas memiliki laboratorium papsmear sendiri, sehingga biaya pemeriksaan juga bisa lebih murah,” katanya.

Dijelaskan, kangker leher rahim bisa menyerang wanita usia 20 tahun – 60 tahun. Dan, kunci untuk upaya penyembuhannya adalah dengan cara pendekteksian dini, melalui papsmear. “Pemahaman perempuan terutama kaum ibu terhadap kesehatan diri sendiri masih sangat kurang. Mereka memang lebih banyak konsentrasi memikirkan kesehatan anak-anaknya yang akhirnya mengabaikan kesehatannya sendiri.” (sulistiono)

Sedikit Tentang Wayang Kancil...

Dikenal dan diakui dunia, tersingkir di negeri sendiri. Begitulah nasib kesenian tradisional, khususnya kesenian wayang. Seiring perkembangan jaman, kesenian tradisional itupun tenggelam oleh arus modernisasi.

Generasi muda semakin lesu dan jauh dari seni tradisi milik bangsanya sendiri. Keberadaan seni tradisional yang dikenal adi luhung itu tergilas dengan perkembangan teknologi yang mampu menghasilkan karya-karya modern yang kemasannya jauh lebih menarik.

Kesenian tradisional yang sarat makna dan penuh dengan pelajaran hidup hendaknya dipelajari dan dilestarikan, seperti halnya kesenian wayang. Bukan hanya karena produk wayangnya kesenian itu dilestarikan. Melainkan isi dari cerita yang diangkat dalam kisah-kisah pewayangan itu.

Jika kesenian wayang sendiri sudah tidak diminati lagi, bagaimana bisa pesan-pesan tentang kehidupan dalam kisah pewayangan bisa tersalurkan. Kekhawatiran seperti itulah yang sampai saat ini dirasakan para pelaku kesenian wayang.

Kondisi seperti itu bukan baru saja kita rasakan. Keberadaan kesenian tradisional wayang yang sudah tersingkir itu sudah kental dirasakan sejak puluhan tahun lalu. Berawal dari sebuah pembicaran para pelaku seni di Yogyakarta, seorang seniman senior waktu itu, Ki Ledjar Soebroto, memulai memikirkan cara untuk mengenalkan kesenian tradisional wayang kepada anak-anak. Upaya itu bertujuan agar kesenian wayang tidak ditinggalkan generasi penerus bangsa.

Saat itu di tahun 1980, seniman tatah sungging wayang itu memiliki kesibukan membuat topeng hewan yang dipergunakan untuk acara karnaval. Kesibukannya itu mengingatkannya akan banyaknya cerita binatang yang saat itu kurang dimanfaatkan untuk pendidikan budi pekerti dan lingkungan hidup, terutama kecintaan terhadap binatang.

Akhirnya pria yang lahir 20 Mei 1938 itu membuat boneka wayang binatang. Jenis-jenis binatang yang dibuat ada di dalam dongeng Kancil yang pernah di dengarnya. Seperti binatang kancil, buaya, gajah, ular, ayam jago, burung gagak, bangau, harimau. Ada sekitar 40 boneka binatang yang berhasil dibuat ketika itu.

Untuk pertama kalinya, Wayang Kancil ciptaan Ki Ledjar dipentaskan di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, pada Agustus 1980 di Gelanggang Mahassiswa diiringi musik gamelan Jawa oleh Keluarga Kesenian Mahasiswa UGM.

Keberadaan Wayang Kancil terus dikembangkan. Bahkan, ketika itu, pada tahun 1981 seorang warga Belanda bernama Riens Bartmans (meninggal September 1994) tertarik untuk dibuatkan Wayang Kancil untuk dipentaskan di negaranya, karena buku yang berkisah tentang Kancil ternyata ada di Belanda.

Riens Bartmans adalah seorang dhalang wayang purwa yang menimba ilmu di Surakarta. Di negaranya, pementasan Wayang Kancil yang diperuntukkan untuk anak-anak mendapat sambutan luar biasa.

”Dia selalu kirim surat kepada saya kalau pementasan Wayang Kancil di negaranya mendapatkan sambutan bagus. Itu yang membuat saya semakin semangat mengembangkan Wayang Kancil di negeri sendiri,” kata seniman yang lahir di Sapuran, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah itu.

Ledjar menceritakan, Wayang Kancil berdasarkan catatan sejarah sudah ada sejak Kasunanan Giri (1478-1688) di Gresik. Pakem Wayang Kancil itu dipakai untuk berdakwah di wilayah pesisir seperti di pulau Jawa, Madura, Kalimantan, Lombok.

Tokoh idola Kancil diciptakan oleh Kanjeng Sunan Giri I (Raden Paku) untuk mengangkat derajad kaum laki-laki sebagai lelaki sejati sekaligus sebagai pahlawan nusantara sejati.

Pada waktu itu tokoh laki-laki dianggap sebagai Sunan Giri I sebagai tokoh yang melambangkan ambiguitas dan kontrovesial, seperti tokoh Raden Panji Inu Kartapati (dalam cerita Panji), Raden Arjuna (dalam cerita Mahabharata) dan Prabu Ramawijaya (dalam cerita Ramayana).

Setelah lama tenggelam, tahun 1925, Wayang Kancil mulai dipertunjukkan lagi, oleh Raden Mas Sajid. Ketika itu Raden Mas Sajid berpendapat bahwa Wayang Kancil dibuat oleh seorang Thionghoa yang bernama Bah Bo Liem.

***

Pementasan Wayang Kancil dimainkan dengan durasi waktu rata-rata satu jam. Pementasan Wayang Kancil pada awal kelahirannya disisipkan pada saat pementasan Wayang Purwa, yaitu dimainkan sebagai pembuka, yang targetnya untuk penonton usia anak. Hal itu dilakukan sebagai cara untuk mendekatkan anak kepada kesenian wayang.

Durasi waktu akan bisa lebih lama (dua jam), jika pementasan Wayang Kancil digelar tunggal, tidak disisipkan dengan pagelaran Wayang Purwa. Bahasa yang digunakan dalam pementasan juga melihat situasinya. Kadang kalanya juga menggunakan bahasa Jawa Ngoko secara utuh.

Namun, jika dipentaskan di depan anak-anak sekolah setingkat TK/SD, tidak menutup kemungkinan menggunakan bahasa campuran; Bahasa Jawa dan Indonesia. Dewasa ini, Wayang Kancil sering dipentaskan menggunakan bahasa Indonesia, mengingat banyak anak sekarang yang kurang memahami bahasa Jawa. Namun, iringan lagu dalam pagelaran Wayang Kancil tetap memakai bahasa Jawa.

Pada perkembangannya, mulai tahun 1993, iringan musik untuk Wayang Kancil digarap dengan gendhing-gendhing dolanan anak, seperti ’Sluku Sluku Bathok’, ’Aku duwe Pithik’, ’Kupu Kuwi’ dan ’Gundul Pacul’. Bahkan, lagu anak-anak yang berbahasa Indonesia juga digarap, antara lain; ’Lihat Kebunku’, ’Naik Kereta Api’, ’Sayonara’, ’Dondong Apa Salak’, ’Bintang Kecil’, ’Satu Satu Aku Sayang Ibu’. Ki Ledjar juga menciptakan lagu yang bertema kepahlawanan tokoh Kancil, yang berjudul ’Kancil Pahlawan’, dalam bahasa Indonesia.

Wayang Kancil yang setiap pementasan selalu menekankan cerita pada pendidikan budi pekerti dan cinta lingkungan itu bisa menggunakan cerita binatang yang ada di Indonesia.

Misalnya saja untuk versi cerita binatang Indonesia versi Jawa, ada ”Serat Kancil Amongsastro” tulisan Kyai Rangga Amongsastro, pujangga pada pemerintahan Paku Buwana V di Surakarta. ”Serat Kancil naskah Van Dorp (Serat Kancil, awit kantjil kalahiraken ngantos dumugi pedjahipun wonten ing nagari Mesir, mawi kasekaraken)”. Kemudian masih ada lagi ”Sekar Kancil Kridamartana”, dan ”Serat Kancil Salokadarma”.

Cerita-cerita binatang di Indonesia sangat banyak, di Melayu, misalnya, ada ”Hikayat Palandoek Djinaka” dan ”Sja’ir Palandoek Djinaka”. Dari tanah Sunda dikenal dongeng bernama ”Sakadang Peutjang”. Di Aceh, dikenal pula cerita binatang bernama ”Plando’ Kantji”, ”Gelar Plando’ ”dan ”Hikajat Nathruan ade (Kinah Hiweuen)”.

***

Wayang Kancil yang digali Ki Ledjar sudah merambah ke mancanegara. Di luar negeri, Wayang Kancil bisa ditemua di beberapa tempat. Di Inggris, koleksi Wayang Kancil dimiliki seseorang bernama Tim Byar-Jones. Di Jerman, bisa ditemui di Ubersee-Museum, Bremen. Di Belanda, koleksi Wayang Kancil bisa ditemui di salah satu museum di kota Groningen yang bernama Volkenkunding Museum Gerardus van der Leeuw.

Di New York Amerika Serikat, koleksi Wayang Kancil dimiliki Tamara Fielding. Perusahaannya yang bernama Tamara and the Shadow Theatre of Java ”Wayang Kulit”, bergerak dibidang pelayanan pertunjukan, ceramah dan lokakaya mengenai wayang kulit.

Di Kanada, beberapa Wayang Kancil telah dikoleksi Dominigue Major dan pernah dipamerkan di Museum of Anthropology milik University of British Columbia. Wayang Kancil juga sudah menyebar ke Jepang dan Prancis.

”Saya heran. Meskipun keberadaan kesenian wayang (Kancil) sudah dikenal di luar negeri, tetapi di negara kita sendiri malah tidak mengakar. Dunia saja mengakui keampuhan kesenian wayang, kenapa justru di Indonesia sendiri kesenian wayang terabaikan,” kata Ledjar.

Pria berkacamata itu menambahkan, perhatian pemerintah sendiri untuk mendukung perkembangan kesenian tradisional wayang sangat lemah. Padahal, di beberapa negara di luar Indonesia, seperti Inggris, justru ada yang memakai kesenian wayang kancil untuk pendidikan terutama di tingkat TK/SD. Diprakasai oleh Sarah Bilby, mahasiswi School of Oriental and African Studies (SOAS) Inggris.

***

Meskipun sudah mendunia, keberadaan Wayang Kancil masih belum mendapat dukungan penuh, terutama dari pemerintah. Keberadaan Wayang Kacil yang menekankan pada cerita-cerita binatang yang sarat dengan ajaran budi pekerti dan cinta lingkungan hidup itu belum bisa dikembangkan di Indonesia.

Selama ini, menurut Ki Ledjar, pemerintah kurang tanggap dengan perkembangan kebudayaan yang ada di negaranya. Mereka kurang peka terhadap keistimewaan budaya di bangsanya sendiri.

“Seharusnya pemerintah seperti departemen pendidikan maupun pariwisata tanggap akan potensi budaya yang ada. Tidak dibiarkan saja. Jika tidak ada perhatian, lama-lama kesenian tradisional akan punah.”

Ki Ledjar sebagai tokoh yang menggali Wayang Kancil juga pernah melakukan upaya untuk memasuki wilayah pendidikan setingkat TK/SD. Meskipun tanggapan siswa sangat bagus, akan tetapi tidak ada dukungan dari institusi pendidikan. “Wayang Kancil sendiri sangat pas untuk media pendidikan, guna menanamkan pendidikan budi perkerti dan lingkungan hidup.”

Meskipun berat dan banyak kendala, seniman yang beralamatkan di Jl Mataram DN I/370 itu tetap memiliki semangat untuk terus menghidupkan kesenian Wayang Kancil. “Kita tetap tidak gentar dan maju terus.”

Ki Ledjar menyadari, kesenian tradisional wayang sudah jauh dari masyarakat Indonesia. Dirinya tetap memiliki tekad untuk mengimbangi masuknya budaya asing melalui Wayang Kancil yang digalinya.

Budaya yang impor dari luar negeri harus diimbangi. Saya memiliki harapan untuk bisa mengimbanginya dengan budaya wayang ini. Kita harus bertekad untuk bisa mengenalkan dan menanamkan kesenian tradisional wayang ini kepada generasi penerus sejak anak-anak.”

Sekarang ini, generasi muda sudah jauh dari budayanya sendiri. Sosialisasi tentang Wayang Kancil yang diberikan ke beberapa sekolah oleh Ki Ledjar sulit diterima siswa. Sosialisasi wayang memakai bahasa Jawa juga sulit dipahami siswa. Hal itu dikarenakan pendidikan bahasa Jawa juga tidak serius diajarkan.

“Keberadaan kesenian tradisional wayang harus kita pertahankan dan kita lestarikan. Bukan karena wayangnya, melainkan muatan-muatan ceritanya yang bisa diambil manfaatnya,” kata anak angkat dhalang kondang Ki Nartosabdo itu.

Ki Ledjar berharap, pemerintah bisa menjadi pelopor utama dalam pelestarian kesenian tradisional wayang. Kesenian wayang sebagai wujud kekayaan budaya bangsa saat ini kondisinya sudah mulai termarjinalkan. Pemerintah hendaknya sesegera mungkin berupaya untuk menjaga kelestariannya agar tidak punah. Apapun kesenian tradisioanal itu dan dari pulau manapun kesenian tradisional itu dilahirkan, pemerintah harus bertanggungjawab untuk memelihara dan mengembangkannya. (sulistiono)

Kenal Ketoprak? Baca Ini...

keterangan foto: Prajurit Lombok Abang Keraton Ngayogyakarta dalam Pawai Napak Tilas Hadeging Kutho Ngayogyakarta.

Sejak kecil sudah menjadi penari wayang orang. Menginjak remaja berkecimpung di kesenian ketoprak. Hingga masa tuanya tetap konsisten di jalur seni ketoprak. Dia adalah Slamet Harjo Sarjono, yang dikenal dengan sebutan Slamet HS. Pemimpin Ketoprak Keluarga Kesenian Jawa, Radio Republik Indonesia (RRI) Yogyakarta.

Bapak empak anak yang tinggal di Panggungharjo, Sewon, Bantul itu dikenal sebagai motor penggerak kesenian tradisional yang tetap konsisten mempertahankan nilai unggah-ungguh dalam berkesenian ketoprak. Seperti unggah-ungguh boso (bahasa), unggah-ungguh solah bowo (tingkah laku) dan unggah-ungguh busono (busana).

Keberadaan ketoprak mataram keluarga kesenian Jawa RRI Yogyakarta merupakan benteng terakhir yang menetukan punah tidaknya kesenian tradisional di masa depan. Saat ini perkembangan seni ketoprak sudah menyesuaikan dengan pasar. Unggah-ungguh dalam kesenian ketoprak sudah tidak begitu lagi diperhatikan. Perkembangan seni ketoprak pada era sekarang ini terlihat dengan munculnya beragam aliran ketoprak, seperti ketoprak humor, ketoprak sengkalan, ketoprak plesetan.

Perkembangannya itu juga merupakan upaya untuk mempertahankan kesenian ketoprak agar tetap eksis. Dengan adanya ketoprak dengan berbagai kemasan itu tidak akan menjadi ganjalan bagi eksistensi ketoprak tradisional. Meskipun harus diakui keberadaan ketoprak tradisional mulai lesu dan penggemarnya berkurang.

Pria kelahiran 4 April 1954 itu memilih jalur di seni ketoprak tradisional untuk mempertahankan warisan leluhur yang keberadaannya dari tahun-ke tahun mulai terancam, terus melemah tertelan perkembangan jaman. “Melihat perkembanganya, suatu saat kesenian tradisional kemungkinan sekali akan punah. Namun, itu masih lama. Mungkin 50 tahun kedepan ketoprak tradisional masih ada. Cuma yang jadi masalah apakah kondisinya bisa seperti sekarang atau tidak.”

Mempertahankan kesenian tradisional gampang-gampang susah. Pencarian kader muda pun sulit. Model kaderisasi seni ketoprak sendiri juga sudah berbeda. Semula kaderisasi seni ketoprak terbentuk dengan adanya tobong (panggung) ketoprak. Kaderisasi seperti itu terjadi ketika kesenian ketoprak itu ada, atau sekitar abad ke-18.

Tahun 1985 keberadaan tobong-tobong ketoprak sudah habis. Sehingga kaderisasi ketoprak saat ini hanya dilakukan dengan festival yang digelar di tingkat kalurahan hingga kecamatan. “Dari berbagai lomba itu kita mencari bibit-bibit pemain ketoprak. Tetapi pencarian bibit lewat festival memang secara kualitas juga kurang matang. Berbeda dengan bibit pemain ketoprak yang digembleng lewat panggung-panggung kesenian,” ungkapnya.

***

Ketoprak mataram Keluarga Kesenian Jawa RRI Yogyakarta adalah grup ketoprak lawas yang keberadaanya sudah ada pada tahun 1936. Dulu grup ketoprak mataram Keluarga Kesenian Jawa RRI Yogyakarta bernama Ketoprak Kridomudo yang bermarkas di Jl Mataram.

Di masanya ketika itu sering tampil mengisi siaran radio milik Belanda. Ketika Jepang menduduki Indonesia, keberadaan grup ketoprak itu tetap eksis dan diminta mengisi siaran radio milik Jepang. Sampai akhirnya Indonesia merdeka dan RRI lahir pada 11 September 1945, grup kesenian ketoprak tersebut masih bertahan. Kemudian grup ketoprak Kridomudo itu berganti nama Keluarga Kesenian Jawa RRI Yogyakarta.

Grup ketoprak tradisional itu terus mengisi siaran di RRI Yogyakarta, dan menjadi siaran andalan. Tahun 1981, oleh Menteri Penerangan Ali Murtopo (1978-1984) mengangkat seniman yang terlibat dalam kesnian ketoprak menjadi pegawai negeri sipil, sebagai wujud kepedulian pemerintah. Kebijakan itu tidak hanya untuk RRI Yogyakarta, tetapi juga untuk RRI lain di Indonesia, seperti RRI Surakarta dengan seniman tradisional wayang orangnya, RRI Surabaya dengan seniaman tradisional ludruknya.

Roda jaman terus berputar. Semakin bertambah tahun, nasib kesenian mulai sedikit-demi sedikit tidak diperhatikan. Setelah Departemen Penerangan di hapus, tenaga kesenian di RRI Yogyakarta nasibnya mulai telantar. Dari tahun ke tahun, tenaga keseniannya dipangkas. Semula seniman ketoprak yang jumlahnya 47 orang, untuk tahun ini tinggal 15 orang. Tahun 2008 akan menyusut lagi menjadi 10 orang. Tahun 2011 tenaga seni ketoprak tinggal lima orang, dan akan habis pada tahun 2019.

“Ketoprak tradisional di RRI Yogyakarta satu-satunya harapan yang bisa menjaga kelestarian kesenian ketoprak tradisional. Jika grup ketoprak yang ada di RRI ini sudah tidak ada, kita juga tidak tahu lagi bagaimana nasib ketoprak tradisional nanti,” kata pegawai kesenian RRI Yogyakarta yang akan pensiun tahun 2010 itu.

Slamet HS, mengungkapkan, berdasarkan siaran apresiasi interaktif dengan pendengar, banyak yang menginginkan agar ketoprak tradisional tetap disiarkan. RRI Yogyakarta yang berkantor di Jl Ahmad Djazuli No 4 Kotabaru tersebut selalu menyiarkan ketoprak tradisional secara langsung dan berseri seminggu sekali, setiap hari Rabu pukul 21.30 wib-24.00 wib. “Setiap dua bulan sekali kita juga menggelar pentas di Auditorium RRI di Jl Gejayan. Penontonnya cukup banyak. Kursi yang ada di auditorium hampir penuh.”

***

Sekarang ini seni ketoprak tradisional Keluarga Kesenian Jawa RRI Yogyakarta terkesan bagaikan monumen ketoprak saja. Di luar gedung RRI, ketoprak tradisional jarang lagi ditemui. Meskipun ketoprak tradisional masih ada, keberadaannya amat sedikit.

Beragam kendala dihadapi oleh para pelaku seni ketoprak tradisional. Slamet HS yang tetap menjadi penjaga gawang ketoprak tradisional tersebut terus berupaya agar ketoprak tradisional tetap eksis. Meskipun kondisinya juga terkendala SDM (sumber daya manusia), pelaku ketoprak tradisional pantang menyerah. Slamet HS sendiri seringkali meminta bantuan para seniman ketoprak untuk membantunya dalam menggelar ketoprak tradisional di RRI Yogyakarta.

Maklum, seniman ketoprak di RRI Yogytakarta sudah habis. Semula seniman ketoprak yang jumlahnya mencapai 47 orang dengan penabuh karawitan 60 orang, sekarang ini sudah tidak ada. “Dalam mempertahankan ketoprak tradisional untuk bisa siaran di RRI Yogyakarta saya meminta bantuan mantan seniman ketoprak RRI yang sudah habis masa tugasnya.”

Slamet terus berupaya memperjuangkan agar seniman ketoprak tradisional tetap diberi ruang untuk bisa siaran, sebagai bentuk eksistensi kesenian tradisional. Dirinya juga bertekad untuk tetap menjaga kesenian tradisional setelah pensiun.

“Mestinya pemerintah juga ikut berpartisipasi agar kesenian ketoprak tradisional bisa bertahan. Kalau ketoprak tradisional selalu menyesuaikan pasar saja, maka kesenian tradisional lama-lama akan punah. Perlu upaya untuk melestarikannya,” kata Slamet.

Menurutnya, pemerintah yang sekarang bisa belajar dari upaya Menteri Penerangan Ali Murtopo dalam mengangkat ekonomi para seniman dan menyelamatkan kesenian tradisional, dengan mengangkat para seniman menjadi pegawai negeri sipil. “Kalau bisa ya pemerintah sekarang ini berupaya seperti itu agar para seniman juga terangkat kehidupannya, dan bisa tetap melestarikan kesenian warisan nenek moyang.”

Seniman yang terlibat dalam kesenian ketoprak tradisional sangat banyak. Untuk idealnya, ada 35-40 orang pemain ketoprak, dan 20-30 orang tenaga karawitan. Mengingat banyaknya seniman yang terlibat dalam kesenian tradisional, maka sekarang sangat tergantung dari kemauan pemerintah untuk melestarikannya. “Masih perlukan kesenian tradisional yang kaya akan nilai-nilai ini perlu dipertahankan. Pertanyaan ini perlu kita sampaikan kepada mereka yang duduk di eksekutif dan legislatif.”

Menurutnya, kesenian tradisional di daerah manapun masih tetap banyak pendukungnya. Cuma yang menjadi permasalahan adalah apakah ada dukungan finansial untuk menyelenggarakan kesenian tradisional tersebut. Apalagi, sekarang ini jaman sudah beralih ke teknologi, sehingga keberadaan kesenian tradisional harus merekrut generasi muda untuk melestarikannya, sekaligus agar kesenian tradisional tidak ditinggalkan.

Pria berkacamata yang gemar mencari teman lewat kesenian ketoprak itu menuturkan, untuk menjaga eksistensi, ketoprak tradisional sering melakukan kegiatan-kegiatan seperti pentas bersama. Maka dari itu, masa depan ketoprak tradisional sendiri juga sangat ditentukan oleh siapa yang memimpin grup ketoprak itu sendiri.

***

Para seniman ketoprak tradisional memiliki harapan yang mendalam agar keberadaan kesenian warisan leluhur itu bisa bertahan hingga akhir jaman. Selain peran serta pemerintah dalam melestarikan kesenian tradisional, pendidikan bahasa Jawa di lingkungan keluarga sangat menentukan. Anak-anak di lingkungan keluarga hendaknya selalu diajarkan bahasa daerah (Jawa).

Pendidikan bahasa Jawa itu merupakan salah satu upaya untuk menyelamatkan kesenian ketoprak tradisional. Sebab, bahasa yang dipakai dalam kesenian ketoprak tradisional adalah bahasa Jawa. Sehingga jika bahasa Jawa sudah dikenal oleh generasi muda sejak kecil, maka kesenian tradisional seperti ketoprak dan wayang yang dalam pementasannya memakai bahasa Jawa bisa tetap bisa diteriman dan dicintai.

“Kalau anak cucu kita tidak bisa bahasa Jawa bagaimana kesenian tradisional bisa bertahan. Yang perlu dikhawatirkan juga, jika upaya seperti itu tidak dilakukan, maka tidak menutup kemungkinan anak cucu kita kalau mau belajar bahasa Jawa harus ke luar negeri. Sebab, sekarang ini banyak sekali mahasiswa asing yang mempelajari kesenian Jawa,” ungkap Slamet.

Dari sisi pemerintahan sebenarnya juga bisa dilakukan. Seperti memakai bahasa Jawa sebagai salah satu materi ujian seleksi yang menentukan diterima tidaknya seorang calon pegawai negeri sipil. Begitu juga di sekolah-sekolah, yaitu dengan menjadikan mata pelajaran bahasa Jawa sebagai salah satu mata pelajaran yang menjadi syarat kelulusan siswa. Dengan demikian bahasa Jawa benar-benar dipelajari.

“Kalau dari penguasaan bahasa Jawa saja lemah, bagaimana kesenian tradisional bisa dicintai masyarakat, karena semua kesenian tradisional memakai bahasa Jawa. Sekarang ini tinggal bagaimana kemauan pemerintah apakah ada greget untuk menyelamatkan warisan leluhur?” (Sulistiono)

Peredaran Daging Diawasi Loh...

Kepala Bidang Bina Produksi Peternakan, Dinas Pertanian Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Daryadi, mengungkapkan pengawasan peredaran daging ternak di pasaran diperketat selama bulan ramadhan dan Idul Fitri tahun ini.

Pengawasan tersebut terkait dengan meningginya peredaran daging bangkai maupun daging sapi gelonggongan setiap kali bulan ramadhan dan Idul Fitri. “Sebenarnya peredaran daging bangkai dan daging sapi gelonggongan setiap saat bisa terjadi. Akan tetapi biasanya setiap bulan ramadhan dan Idul Fitri jumlahnya meningkat.”

Menurut dia, waktu operasi peredaran daging bangkai dan daging gelonggongan sifatnya dirahasiakan. Yang pasti, untuk kontrol masuknya daging bangkai dan gelonggongan ke pasaran dilakukan pada waktu dinihari.

“Kita akan meningkatkan operasi pada bulan ramadhan ini. Kegiatan akan kita intensifkan lagi dua minggu sebelum Idul Fitri, karena pada saat itu permintaan daging biasayanya meningkat. Kegiatan ini akan melibatkan dinas terkait di tingkat kabupaten/kota dan satuan polisi pamong praja (Sat Pol PP).”

Daryanto mengungkapkan, ulah para pedagang nakal sebenarnya sudah diantisipasi dengan upaya pendampingan. Namun, upaya tersebut belum maksimal bisa menekan angka peredaran daging ayam bangkai dan daging sapi gelonggongan.

Pihaknya berjanji akan menindak tegas pedagang yang diketahui menjual daging ayam bangkai maupun daging sapi gelonggongan. Semua daging yang dicurigai bangkai dan gelonggongan akan diuji untuk mengetahui layak dan tidaknya daging tersebut dikonsumsi.

“Ulah pedagang nakan selalu ada. Dan biasanya konsumen mau membeli karena daging yang seperti itu harganya murah. Kita berharap konsumen dalam membeli daging ayam atau daging sapi jangan sampai terlena dengan harga yang murah,” katanya.

Selain menggelar operasi di pasaran, pihaknya juga sudah melakukan koordinasi untuk memperketat pengawasan lalu lintas daging yang masuk ke wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta, melalui Unit pelaksana Teknis Balai Diagnostik Kehewanan Propinsi DIY. (sulistiono)

Terminal Penumpang Yogya Siagakan Ratusan Bus Cadangan

Sedikitnya 179 bus cadangan bantuan dari organda (organisasi angkutan darat) disiagakan di Terminal Penumpang Yogyakarta untuk mengantisipasi lonjakan penumpang pada arus mudik dan arus balik musim liburan Idul Fitri tahun ini.

Selain menyiapkan bus cadangan, sejumlah persiapan lain juga dikerjakan untuk mendukung kenyamanan calon penumpang di terminal terbesar di Daerah Istimewa Yogyakarta itu. Seperti pengadaan pos kesehatan, dan pos informasi

Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) Terminal Penumpang Yogyakarta, Imanudin Azis, Jumat (29/9), mengungkapkan, pihaknya sudah melakukan koordinasi di tingkat propinsi DIY. Ledakan penumpang arus mudik dan arus balik diperkirakan akan terjadi pada H-3 dan H+3.

Berdasarkan data bulan Agustus, jumlah lalu lintas bus yang masuk Terminal Penumpang Yogyakarta untuk bus AKAP (antar kota antar propinsi) saat ini sebanyak 915 unit, untuk bus AKDP (antar kota dalam propinsi) sebanyak 913 unit. Sedangkan bus kota 555 unit. Jumlah kedatangan penumpang untuk bus AKAP dan AKDP berjumlah 578.658 orang, dan jumlah keberangkatan penumpang 579.474 orang. Dan, untuk arus kedatangan penumpang bus kota 240.141 orang dan arus keberangkatannya 206.975 orang.

“Arus kedatangan dan keberangkatan penumpang akan mengalami puncaknya pada H-3 dan H+3. Kita sudah persiapkan segalanya untuk mendukung kenyamanan calon penumpang yang melewati Terminal Penumpang Yogyakarta ini,” kata Azis.

Dikatakan, saat ini pihak pengelola terminal (PT Perwita Karya) juga sedang melakukan perbaikan sarana dan prasarana terminal yang rusak akibat bencana gempa 27 Mei lalu. Seperti perbaikan ruang tunggu penumpang, lajur kedatangan penumpang serta perbaikan atap dan kaca.

Menurut Azis, masalah tarif lebaran, saat ini masih menunggu kepastian dari pemeruintah pusat. Yang jelas, para penumpang dihimbau untuk hati-hati terhadap masalah pelanggaran tarif. Jika nantinya mengetahui ada pelanggaran tarif, diminta untuk melaporkan ke Pos Informasi yang akan dijaga 24 jam.

“Para calon penumpang nanti juga kita harapkan menghindari calo tiket. Masalah calo tiket ini tidak lepas dari pantauan kami. Terminal sendiri selain akan diawasi aparat kepolisian, kekuatan tenaga security juga disiapkan yang jumlahnya 39 personil.” (sulistiono)

Berpuasa Sambil Berjualan Buku Islami

Solihin Syam, warga Jl Wonocatur, 419 Banguntapan, Bantul, punya resep sendiri selama bulan Ramadhan. Sembari menunggu buka puasa, dirinya menjual buku-buku Islami di Masjid Diponegoro, Yogyakarta.

Dengan mobil pribadinya, dia berniat menjual buku Islami di masjid hingga akhir bulan Ramadhan. Setiap hari dia membawa 360 judul buku dengan harga berkisar Rp.5.000 hingga Rp 136 ribu. Setiap tahun, ketika bulan Ramadhan, korban gempa itu selalu mengisi waktu dengan berdagangan buku.

Buku-buku yang dijual diatata rapih di dalam bak mobilnya, dan sebagian kecil dia tata di dua meja yang panjangnya sekitar tiga meter. Tahun ini, dia menjual buku ke kota Yogyakarta karena pasar buku di daerahnya (Bantul) lagi sepi. Konsumen buku di Toko Galaxy Ikhwah Group miliknya yang ada di Jl Wonocatur 419 juga belum pulih paska tragedi bencana gempa 27 Mei lalu.


Dirinya pun memilih berjualan buku ke kota Yogyakarta, dan memilih masjid Diponegoro sebagai tempat untuk menjajakan buku Islami. “Dari pada tidak ada kegiatan saya gunakan waktu selama bulan ramadhan ini untuk berjualan buku di sini (masjid Diponegoro). Kalau lagi tidak ada konsumen saya pakai untuk membaca al-quran.”

Buku-buku Islami yang dijual ternyata cukup laris. Setiap hari, dia mampu menjual 10-20 eksemplar. Buku yang paling diminati antara lain berjudul ”Keajaiban Sholat Subuh” karangan Imad Ali Abdul Sami Husain dan buku berjudul “Misteri Shalat Subuh” karangan Dr. Raghib As-Sirjani. “Minat baca masyarakat terhadap buku Islami pada bulan ramadhan biasanya tinggi, terutama untuk buku-buku Islami.”

Sehari-hari, Solihin memang berprofesi sebagai agen buku Islami. Tetapi selama bulan Ramadhan dia mengecer sendiri buku-buku Islami, dan memilih salah satu lokasi masjid untuk menjajakan buku-buku Islaminya. Buku Islami dagangannya dia dapatkan dari pecetakan di berbagai daerah di luar Yogyakarta seperti seperti percetakan dari Solo, Bandung dan Jakarta.

Dagangannya selalu dikerubungi konsumen, terutama oleh orang-orang yang sedang menjalankan ibadah di masjid, tempat dimana dia menjajakan bukunya. Sehabis sholat biasanya, para muslim mendatangi pajangan buku yang dia tata rapih. Meskipun tidak semua yang datang membeli buku, tetapi hanya melihat-lihat saja. (sulistiono)

Thursday, September 21, 2006

Pelajar SD Terjaring Operasi

Operasi pelajar rutin yang dilakukan Dinas Ketertiban, Kepolisian dan Dinas Pendidikan dan Pengajaran kota Yogyakarta berhasil mengamankan sembilan pelajar. Dua pelajar diantaranya siswa kelas V SD salah satu sekolah di kota pendidikan itu. Dua bocah berseragam SD itu tertangkap basah ketika sedang asyik bermain game di Genesis Game Online di Jl AM. Sangaji.

Sedangkan untuk tujuh pelajar yang tertangkap dalam operasi pelajar itu merupakan siswa SMA dan SMK di Yogyakarta. Saat ditangkap para siswa tersebut mengaku bahwa kegiatan belajar mengajar di sekolah mereka sudah selesai.

Kegiatan operasi pelajar yang diselenggarakan, Rabu (20/9) itu, petugas menyisir semua lokasi yang disinyalir sering digunakan para pelajar untuk bolos sekolah. Seperti di Mall, tempat game, dan jalan-jalan umum yang sering dipakai nongkrong saat jam sekolah, seperti Jl Robert Walter.

Meiyanto, Komandan Operasi Lapangan Dinas Ketertiban Kota Yogyakarta, mengungkapkan, operasi pelajar tersebut merupakan kegiatan rutin yang dilakukan pemerintah kota (Pemkot) Yogyakarta.

Operasi pelajar sendiri dilakukan dalam rangka untuk menjaga keamanan, ketertiban dan ketentraman kota Yogyakarta yang sudah dikenal sebagai kota pendidikan. Apalagi, banyak sekali warga di luar kota yang menyekolahkan anaknya di Yogyakarta.

”Banyak warga masyarakat di luar kota Yogyakarta yang menyekolahkan anaknya di sini (Yogyakarta). Sehingga dengan adanya operasi seperti ini diharapkan bisa meminimalisir kenakalan pelajar. Mereka di Yogyakarta ini memang disekolahkan orang tuanya untuk belajar yang rajin, bukannya untuk bermain di saat jam pelajaran,” terangnya. (sulistiono)

Thursday, September 14, 2006

Bisnis Eceran Ditengah Arus Modernisasi

Merebaknya pasar-pasar modern di Indonesia berdampak pada persaingan ketat dengan pasar tradisional. Peraturan yang memihak keberadaan pasar modern akan mematikan pasar tradisional.

Begitu juga di Yogyakarta, keberadaan mall selalu bertambah. Melihat agresifitas pasar modern tersebut, tidak menutup kemungkinan pasar modern akan berkembang dengan pesat di kota-kota kecil.

Pengusaha sangat jeli membidik peluang dan kesempatan, bahkan kalau perlu tidak menunggu atau mencari, tetapi menciptakan peluang sendiri. Larangan kehadiran pasar modern di lingkup daerah tertentu diterobos melalui model minimarket atau supermarket dalam kapasitas yang lebih kecil.

Saat ini makin banyak minimarket hadir di permukiman-permukiman yang jauh dari pusat kota, baik yang berbentuk franchise atau waralaba maupun milik perseorangan. Penampilannya yang menarik dengan harga agak miring membuat orang suka.
Kehadiran bisnis ritel atau eceran modern semacam hypermarket, supermarket, department store, serta pusat grosir atau kulakan memang tak terelakkan sebagai bagian dari kemajuan dan perkembangan zaman.

Sekarang ini aktifitas belanja bukan lagi sekadar kegiatan membeli barang-barang yang dibutuhkan, melainkan juga rekreasi. Untuk memenuhi fungsi di luar transaksi tersebut penampilan dan penataan yang menarik menjadi suatu tuntutan.

Menghadapi serbuan bisnis eceran modern yang makin menyesakkan, sebenarnya telah ada upaya memperbaiki penampilan pasar tradisional yang selama ini dicitrakan becek, kumuh, semrawut, dan tidak ada kepastian harga. Pemerintah kota (Pemkot) Yogyakarta, misalnya, sudah melakukan upaya itu. Seperti dibuatnya pasar buah Giwangan, maupun pasar Ikan higienis yang saat ini sudah dalam tahap persiapan untuk buka.

Bagaimanapun dan apa pun yang terjadi bisnis eceran tradisional, khususnya yang berbentuk pasar tradisional, perlu diberi hak hidup agar tidak mati secara perlahan-lahan akibat desakan bisnis ritel modern.

Pertimbangan utamanya adalah di sana ada pelaku-pelaku ekonomi kecil yang jumlahnya dominan dalam sistem perekonomian kita, yakni para pedagang kecil. Bahkan usaha seperti itulah, yang saat puncak krisis moneter tahun 1998 masih mampu bertahan dan eksis.

Maka dari itu, jangan sampai mereka pun gulung tikar satu demi satu bersamaan dengan kebangkrutan pasar, tempat mencari penghidupan. Jika itu yang terjadi, akan menambah persoalan bangsa ini yang terus berkutat dari satu krisis ke krisis lainnya, terutama di sektor ekonomi. Jumlah penganggur tentu meningkat dan berpotensi memunculkan masalah sosial beserta dampak lain yang tidak Diinginkan.

Demi menyelamatkan pasar tradisional itu, sangat dibutuhkan keberpihakan para penentu kebijakan. Berdasarkan fakta yang ada saat ini, kiranya tidak bisa menghambat pesatnya bisnis eceran modern karena keberadaannya juga menjadi suatu kebutuhan masyarakat, meskipun tidak dalam persentase besar, yakni hanya untuk kalangan menengah ke atas.

Pengaturan dan penegakan peraturan sangat diperlukan, agar bisnis eceran tradisional bisa tumbuh dan hidup berdampingan dengan bisnis eceran modern. Butuh regulasi yang membatasi wilayah yang boleh didirikan fasilitas pusat-pusat perbelanjaan modern, baik berupa hypermarket, supermarket, department store, grosir, dan sejenisnya. (sulistiono)

Buruknya Kualitas Udara di Yogya

Kualitas udara di kota Yogyakarta terus memburuk. Berdasarkan hasil uji kualitas udara ambient di 11 lokasi, menunjukkan kualitas udara di kota pendidikan itu melebihi baku mutu/standar lingkungan.

Hal itu dikatakan Ika Rostika, Kepala Bidang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Dinas Lingkungan Hidup Kota Yogyakarta, Rabu (13/9).

11 lokasi yang diuji kualitas udaranya antara lain, di Jl. Malioboro, Simpang empat Gramedia, Jl Laksda Adisutjipto, Borobudur plaza, Jl Kusumanegara, simpang empat Kantor Pos Besar, simpang empat Wirobrajan, Jl Jlagran, simpang empat Tugu, simpang tiga Kotagede, dan Jl C. Simanjuntak.

Dari uji kualitas udara dengan parameter CO, Debu, SO2 dan Pb, menunjukkan kualitas udara di Yogyakarta melebihi baku mutu ambient. Standar baku mutu untuk CO;30.000 µg/m3, Debu ;230 µg/m3, SO2 ;1300 µg/m3, dan Pb; 2 µg/m3.

Ika mengatakan, pertumbuhan kendaraan bermotor di kota Yogyakarta yang cepat dan tinggi yang tidak dibarengi dengan kesadaran menjaga kualitas udara akan terus memperburuk kualitas udara.

Selama ini, kata dia, pihaknya telah melakukan beragam upaya seperti uji emisi, penanaman pohon di perkotaan, belum membuahkan hasil. ”Selama ini kita hanya melakukan kampanye untuk menjaga kualitas udara. Akan tetapi, upaya itu belum maksimal.”

Ika mengatakan, untuk mengatasi maalah kualitas udara, saat ini sedang dibahas rancangan peraturan daerah (Raperda) tentang penanggulangan pencemaran udara di pemerintah propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). “Dengan adanya raperda tersebut, diharapkan mampu mengendalikan kualitas udara yang semakin hari semakin bertambah buruk.”

Menurut dia, pihaknya akan selalu berusaha untuk melakukan perbaikan kualitas udara, mengingat berbagai macam gangguan kesehatan ndapat ditimbulkan oleh udara kotor. Misalnya saja, bahaya gas buang kendaraan bermotor, seperti CO; bisa mengurangi jumlah oksigen di dalam darah, dalam jumlah kecil, bisa mengakibatkan gangguan berfikir, penurunan refleks, gangguan jangtung. Apabila dalam jumlah besar bisa menimbulkan kematian. Selain itu,unsur Pb dalam gas buang kendaraan bermotor bisa meracuni sistem pembuluh darah merah dan bisa menyebabkan anemia, tekanan darah tinggi, mengurangi fungsi reproduksi dan ginjal, dan jika mengenai anak-anak bisa menyebabkan penurunan kemampuan otak serta megurangi kecedasan. (sulistiono)

Wednesday, September 13, 2006

Penjual Bahan Bangunan Dihimbau Tidak Naikkan Harga

Pengusaha bahan bangunan dihimbau tidak menaikan harga, menjelang akan dimulainya pembangunan rumah roboh dan rusak berat akibat bencana gempa 27 Mei lalu.

Korban gempa dipastikan akan serentak memulai aktivitas membangun rumahnya yang roboh atau rusak berat, karena mereka akan menerima dana bantuan dari pemerintah 1 Oktober mendatang.

“Karena banyak yang akan membangun rumah tentu saja akan banyak permintaan bahan bangunan. Dari sisi hukum ekonominya, dalam kondisi seperti itu tidak menutup kemungkinan para pengusahan menaikkan harga,” kata Eko Suryo, Kepala Dinas Pemukiman dan Prasarana Wilayah (Kimpraswil) Kota Yogyakarta, Selasa (12/9).

Menurut dia, pihaknya sudah mengirimkan surat himbauan kepada seluruh pengusaha bahan bangunan di kota Yogyakarta, untuk tidak mengambil kesempatan karena masyarakat kondisinya sedang susah.

Eko mengaku, pihaknya juga tidak bisa berbuat banyak karena semuanya akan ditentukan di pasaran. Pengendalian harga di pasaran pasti akan sulit. Sehingga, upaya yang dilakukan untuk mengantisipasi melonjaknya harga, pihak pemerintah kota (Pemkot) Yogyakarta telah melakukan proses daur ulang sampah material bangunan yang tercecer akibat gempa, menjadi pasir. Hasil dari daur ulang tersebut akan dipasarkan kepada masyarakat dengan harga murah. Lokasi daur ulang dilakukan di eks terminal Umbulharjo.

Namun demikian, berdasarkan pantauan Media Indonesia di lokasi, sampai dengan saat ini belum ada aktivitas daur ulang sampah material bangunan tersebut. Sampah material bangunan masih memenuhi lokasi eks terminal Umbulharjo.

Sementara itu, untuk mengantisipasi terjadinya gejolak di masyarakat paska pengiriman dana bantuan, diserahkan sepenuhnya kepada fasilitator senior yang akan direkrut pemerintah. Untuk itu, fasilitator yang bertugas untukmenjebatani semua persoalan masyarakat tersebut adalah tokoh masyarakat setempat.

“Dengan petugas fasilitator senior maupun fasilitator yunior yang semuanya berjumlah riga orang itu bisa mengatasi semua persoalan yang ada di lapangan. Jadi upaya kita lebih pada upaya persuasif untuk mencegah jangan sampai terjadi gejolajkdi masyarakat,” kata Eko.

Ditegaskan pula, bahwa korban gempa yang rumahnya roboh ataurusak berat yang sertifikat tanahnya hilang segera diurus. Karena korban yang tidak memiliki sertifikat tidak akan mendapatkan bantuan. Bagi yangs ertifikatnya hilang bisa meminta surat keterangan ke BPN (Badan Pertanahan Nasional) kota Yogyakarta.

“Setelah itu korban juga harus mengurus IMBB (Ijin Mendirikan bangun-Bangunan). Jadi semua korban gempa yang rumahnya roboh atau rusak berat yang sudah membentuk Pokmas (kelompok masyarakat) yang jumlahnya delapan hingga 15 orang itu harus melengkapi syarat IMBB untuk mendapatkan bantuan.” (sulistiono)

Friday, September 08, 2006

Shopping Center Yogya Dipindah

Komunitas pedagang buku di kawasan Shopping Center sudah melakukan pengundian tempat dan siap untuk dipindah oleh pemerintah kota (Pemkot) Yogyakarta. Sebanyak 122 pedagang buku tersebut terpaksa dipindah untuk digabungkan ke dalam area taman pintar, kawasan yang akan dikembangkan sebagai kawasan wisata pendidikan.

Harjono, koordinator shopping center, Selasa (19/7) mengungkapkan, pihaknya sudah melakukan pertemuan dan siap dipindah pada 27 Juli mendatang. Berdasarkan pertemuan yang telah dilakukan, semua pedagang mendapatkan jatah sesuai dengan hasil pengundian.

Dikatakan, seusia dengan ketentuan dari pihak pemerintah setempat, para pedagang akan dikenakan harga sewa per 20 tahun. Mengenai harga masing-masing kios akan berfariasi sesuai dengan lokasi kios. Untuk kios yang strategis dikenakan harga yang lebih mahal.

“Harga yang ditawarkan pihak Pemkot Yogyakarta bervariasi mulai dari Rp 10 juta hingga Rp 35 juta. Kita bisa menerima tawaran harga tersebut, karena kita menganggap harganya masih wajar.”

Harjono menambahkan, harga sewa yang dikenakan para pedagang tersebut bisa diangsur selama dua tahun, dengan ketentuan 50 persen per tahun. “Dengan mebayar uang sewa itu kita memunyai hak menempati kios selama 20 tahun. Setiap bulannya, kita masih dikenakan biaya sebesar Rp 50 ribu untuk keamanan, kebersihan dan pemeliharaan,” katanya.(sulistiono)

Edhi Sunarso: Mematung untuk Sejarah Bangsa

Perjuangan panjang dan perjalanan yang rumit dan akhirnya menjadi pematung besar. Menghasilkan karya-karya luar biasa dan menajdi simbol perjuangan bangsa Indonesia. Adalah Edhi Sunarso, kelahiran Salatiga 2 Juli 1932.

Pria yang saat ini sudah berusia senja dan tinggal di Jl Kaliurang Km 5,5 No 72 Yogyakarta. Rambutnya yang sudah memutih dan kulitnya yang keriput tidak memlemahkan semangatnya untuk berkarya seni patung.

Masyarakat umum, mungkin belum tahu persis siapa dirinya. Tetapi pasti sudah mengetahui bahkan sangat menikmati keindahan karya seninya. Tidak kurang dari

14 monumen dan 10 diorama sejarah bangsa Indonesia atas campur tangan keahliannya.

Antara lain, Monumen Tugu Muda ( Semarang), Monumen Selamat Datang (Jakarta), Monumen Pembebasan Irian Barat (Jakarta), Monumen Dirgantara (Jakarta), Monumen Pahlawan Nasional Kolonel Slamet Riyadi (Ambon), Monumen Jenderal Ahmad Yani (Bandung), Monumen Jenderal Gatot Subroto (Surakarta), Monumen Pahlawan Samudera Yos Sudarso (Surabaya), Monumen Pahlawan Samudera (Jakarta), Monumen Pangsa Sudirman di Museum PETA (Bogor), Monumen Pangsa Sudirman Cilangkap (Mabes ABRI) di Jakarta, Monumen Pancasila Sakiti Lubang Buaya (Jakarta), Monumen Yos Sudarso (Biak, Irian Barat), Monumen Pahlawan Tak Dikenal Digul (Papua), Monumen Sultan Thaha Syaifudin (Jambi).

Atau karya diorama sejarahnya, Diorama Sejarah Monumen Nasional, Diorama Sejarah Museum Lubang Buaya, Diorama Sejarah Moseum Pancasila Sakti Lubang Buaya, Diorama Sejarah Museum ABRI Satria Mandala, Diorama Sejarah Museum Keprajuritan Nasional (TMII) , Diorama Sejarah Museum Purba Wasesa (Jakarta). Kemudian Diorama Sejarah Museum Jogja Kembali, Diorama Sejarah Museum Benteng Vredeburgh (Yogyakarta) dan Diorama Sejarah Museum Tugu Pahlawan 10 Nopember Surabaya di Surabaya.

Meski usia sudah sepuh, semangat dia masih terlihat. Bicaranya masih keras dan lantang. Terbuka, apa adanya. Pengalaman hidupnya di masa perjuangan kemerdekaan memberikan spirit tersendiri.

Sosok Edhi tidak bisa dilepaskan dari sejarah perjuangan bangsa ini. Hasil kerja kerasnya di masa kemerdekaan, memvisualkan semangat perjuangan rakyat di jaman revolusi menjadi pelajaran berharga bagi generasi muda. Sehingga, generasi penerus mampu mengenal sejarah perjuangan bangsa yang penuh dengan derita dan pengorbanan.

“Semua karya sejarah di Indonesia ini pada awalnya tidak lepas dari keinginan Bung Karno yang saat itu ingin membuat karya seni perjuangan sebagai wujud tinggalan sejarah untuk generasi penerus bangsa Indonesia,” kenang Edhi.

Bagi dia, keseriusan untuk terus menerus membuat seni patung tidak lain hanya untuk pengabdian kepada bangsa dan negara. Semua patung dan diorama sejarah yang dibuatnya adalah gambaran semangat hidup untuk terus membangun bangsa Indonesia agar terbgun dari keterpurukan.

Dirinya pun tidak melepaskan egonya untuk membuat karya lain yang lepas dari koridor sejarah. Baginya, sebuah karya patung adalah ruang ekpresinya untuk mengungkapkan perasaannya tentang kehidupan ini.

Melalui seni patung dirinya bisa mepresentasikan pikirannya dengan bebas. Untuk itu, setiap karya seninya mengandung pesan darinya untuk bangsa ini. “Melalui seni patung semua pemikiran saya ungkapkan.”

***

Menjadi pematung tidak didapatkannya begitu saja. Perjalanan yang panjang dan tidak pernah lelah dalam belajar. Semanga itu yang telah membawa kehidupannya seperti sekarang ini.

Dengan semangat Edhi menceritakan awal karirnya menjadi pematung. Ternyata dirinya belajar seni bukan karena sekolah. Pada awalnya dia belajar otodidak hingga nasib membawanya pada satu titik puncak perjalanan hidupnya yang sukses menjadi pematung.

Awal perjalanan kehidupannya mulai terasa saat dirinya berumur 13 tahun. Saat itu dia masih menempuh pendidikan Sekolah Rakyat (SR) kelas V di salah satu sekolah di Jawa Barat.

Di usia yang masih terhitung belia itu, dia belum mengenal seni patung. Tepatnya tahun 1946, dia ikut berjuang sebagai komandan pasukan anak-anak dalam kesatuan pasukan Samber Nyawa Divisi I, Bataliyon III, Resimen Siliwangi.

Meskipun masih usia anak-anak, keastuannya memiliki tugas berat. Mengatntar peluru antar kota di Jawa Barat. Dia selalu mengantar peluru dari tentara kerajaan Belanda (KNIL) pro Indonesia, dan di bawa untuk diantarkan kepada pasukan RI di wilayah luar kota. Kegiatan seperti itu dia lakukan setiap kali pulang sekolah.

Selain mengantar peluru, dirinya juga menerima tugas untuk melakukan sabotase kegiatan orang Indonesia yang pro Belanda. Seperti membakar toko-toko milik orang Indonesia atau warga negara asing yanbg pro Belanda, memasang dinamit di jembatan, hingga membakar pabrik-pabrik yang dikuasai Belanda.

Tepat enam bulan, kegiatannya diketahui tentara Belanda, dan dirinya pun diancam. Ancaman itu tidak membuatnya patah semangat. Justru dirinya pun akhirnya meninggalkan tugas itu dan bergabung dengan para pejuang untuk melakukan perlawanan langsung.

Bulan Juli tahun 1946 dirinya ditangkap oleh pasukan Belanda. Dia dipenjara di Pegaden Baru, Jawa Barat. Dirinya dipindah tiga kali ke penjara Subang, Kalijati dan Purwakarta.

Di penjara itulah, di usianya yang masih kecil merasakan, setrum listrik, popor bedil, pukulan, tendangan untuk mau menunjukan dimana persembunyian Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang belum tertangkap. Meskipun mendapat siksaan, dirinya tetap diam seribu bahasa.

Pada suatu saat, dirinya juga sempat dipindah ke Kebon Baru, Bandung, untuk dipenjarakan di TNI CAMP. Di situlah, dirinya bergabung dengan 2.400 pejuang kemerdekaan. Di situ pula dirinya belajar smenggambar, bahasa Inggris, bahasa Indonesia dengan para pejuang.

Bulan Juli 1949, dirinya dibebaskan dari penjara. Selepas menjalani hidup dipenjara selama 3,5 tahun itu, dirinya pergi ke Yogyakarta, melewati Semarang. Dia berjalan kaki sendiri. Kadang pula menumpang mobil tentara belanda. Setelah melakukan perjalanan 24 hari, akhirnya sampai Semarang.

Perjalanan hidupnya memang berat. Sampai di semarang pun dirinya tergeletak sakit dan akhirnya dibawa oleh warga mengetahui kondisinya ke Rumah Miskin Kaligawe (semacam rumah sakit sosial milik Belanda). Dirinya menjalani perawatan hingga dua minggu.

Setelah sembuh dirinya meneruskan perjalanan ke Yogyakarta. Sampai di Salatiga, dirinya ditangkap oleh Tentara RI, karena dicurigai sebagai mata-mata. “Saat ditangkap tentara RI saya beruntung, karena komandan mereka dari solo ( Slamet Riyadi) datang dan memarahi anak buah mereka karena menangkap saya. Saat itu saya tawari untuk bergabung dan berjuang bersama mereka. Dan saya terima tawaran itu,” ceritanya.

Di bawah komando Slamet Riyadi, dirinya bergabung dengan pasukan Brigade SS (salah satu kompi dari brigade 17 Tentara Pelajar di Solo). Dia ditugaskan ke Ampel,Boyolali.

Di wilayah dirinta bertugas itulah dia bertemu dengan keluarganya yang selama ini meninggalkannya. Saat itu Edhi dikira telah meninggal. Dia ketemu dengan keluarganya. Di tempat tugasnya dia ketermu dengan Wiryono (kakak) Darjono (keponakan) dan Suharno (paman).

“Dari kecil saya pisah dengan keluarga karena saya dikira sudah meninggal saat perang kemerdekaan. Padahal saya diselamatkan Ibu Romlah, guru sekolah saya yang akhirnya saya dibawa lari ke jawa barat. Kita tahu kalau kita bersaudara karena wajah saya dengan kaka saya sangat mirip, seperti bercermin dikaca.”

Setelah itu akhirnya dirinya diajak ke rumah bapaknya di Salatiga. Di sana dia ketemu dengan bapaknya, Sukmo Sarjono, lurah di Takalrejo, Dolog, Nusukan, Salatiga. Ketemu dengan keluarga, dirinya merasa haru, tercekik, mencekam dan serba rikuh

“Akhirnya tujuh hari di rumah keluarga saya saya pamit untuk pergi ke Yogyakarta. Sebab, disana saya serba tidak nyaman. Apalagi semua kakak saya sudah berhasil semua dan pendidikannya juga tinggi, sedangkan saya di Sekolah Rakyat saya tidak lulus. Saya pamit ke Yogyakarta dan akan kembali jika saya sudah menjadi orang sukses. Akhirnya saya diberi alamat keponakan saya di Kotagede, Yogyakarta. Namanya Sundari yang tinggal dengan suaminya Wiryo Suparto.”

Saat itulah, dirinya hijrah ke Yogyakarta dan mundur dari pasukan Brigade SS pimpinan Slamet Riyadi. Di Yogyakarta dia mampir di rumah keponakannya di Kotagede. Di sana dia mendaftarkan diri di Kantor Urusan Demobiliasai Pejuang (KPDP) dan selama delapan hari di KPDP, dirinya selalu melewati Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI), tahun 1950.

Ketika melewati ASRI itulah dirinya sering melihat orang berlatih menggambar. Melihat aktifitas menggambar itu, dirinya selalu mengikuti ke mana pun lokasi siswa ASRI menggambar. “Ketika mereka pergi ke pasar untuk menggambar saya ikuti. Ketika mereka ke Malioboro saya ikuti. Lama-lama saya ikut dengan membawa kertas gambar sendiri dan saya juga ikut menggambar,” ungkapnya.

Beruntung, saat itu dirinya didatangi oleh pelukis senior, Hendra Gunawan. Dirinya didekati dan ditanya apakah mau bersekolah di ASRI. Dirinya ditawari itu karena hasil menggambarnya bagus.

“Akhirnya saya terima tawaran dan saya diperbolehkan ikut pelajaran praktek saja. Tidak boleh mengikuti teorinya. Tetapi saya selalu meminjam catcatan teman-teman di sana.”

Di situlah awal karir Edhi Sunarso menjadi pematung profesional. “Wah saat itu rasanya dunia saya mulai terbuka. Rasanya tidak pernah ada malam, karena malam pun saya pakai untuk mematung. Setiap sore hari sebelum petang, saya sisihkan waktu untuk meminjam buku catatan teman-teman di ASRI, karena saya tidak boleh ikut teori namun hanya praktek saja,” katanya seraya mengungkapkan bahwa dirinya baru diterima menjadi mahasiswa resmi setelah tiga tahun mengikuti pelajaran praktek dan lulus dalam ujian ekstra.

Tepat tiga tahun belajar di ASRI itulah, dirinya berhasil juara dua dalam lomba seni patung Internasional di Inggris. Patung itu bertema The Unknown Political Prisoner, pada tahun 1953.

Bersamaan dengan penerimaan juara itu bersamaa dengan peresmian Tugu Muda Semarang. Dirinya terlibat dalam pemnbuatan Tugu Muda Semarang dan dipercaya sebagai koordinator keuangan.“Dalam peresmian itulah saya kenal dengan Bung Karno dan bias berjabat tangan dengan beliau.”

Karirnya di bidang seni patung mulai meroket. Bebrerapa undangan ke luar negeri untuk mengikuti seminar, simposium di Polandia, Romania, China. “Saat itu saya masih berumur 22 tahun. Sepulang dari luar negeri, saya melanjutkan pendidikan di ASRI untuk jenjang opendidikan tingkat empat dan lima.”

Prestasi Edhi terus berkembang. Pada tahun 1957, dirinya mendapat mendali emas dari pemerintah India karena patungnya terpilih menjadi Karya Seni Patung terbaik dunia, periode 1956 -1957.

Atas prestasinya yang bagus, tahun 1958 dirinya diangkat sebagai calon tenaga pengajar di ASRI yang telah berubah nama menjadi STSI (Sekolah Tinggi Seni Indonesia). Tahun 1960 resmi diangkat menjadi pengajar tetap dan diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS). “Tahun 1960 perkembangan seni patung belum bagus. STSI kemudian membuka jurusan seni patung secara tersendiri. Semula seni patung digabung dengan seni lukis. Dirinya pun dipercaya untuk memimpin jurusan itu.”

***

Perkenalan dengan Bung Karno pada peresmian Tugu Muda di Semarang, telah membawa berkah dirinya. Tahun 1959 dirinya dipercaya Bung karno untuk membantu pendirian Museum Nasional, dan kemudian juga dipercaya untuk membuat patung “Selamat Datang” di Jakarta. Patung itu dipersiapkan untuk menyambut para olah ragawan dari luar negeri, dalam Asean Game di Indonesia.

Dirinya sempat berfikir keras untuk menerima tantangan dari Bung Karno itu. Sebab, dirinya pada waktu itu tidak memunyai pengalaman membuat patung besar apalagi yang bahannya dari perunggu.

Saya sempat ragu-ragu karena saya tidak punya pengalaman. Namun, dirinya sangat ingat betul dukungan Bung Karno waktu itu. Kepadanya Bung Karno bilang “Kamu punya kesadaran berbangsa tidak? Kalau punya, kamu pasti bisa! Saya tidak rela kalau patung itu saya suruh buatkan negara lain,” begitu kata Bung Karno kepada Edhi.

Waktu seminggu yang diberikan klepada Edhi untuk berfikir akhirnya tidak disia-siakan. Dengan bantuan teman-temannya di Yogyakarta akhirnya dirinya menyatakan sanggup membuat patung “Selamat Datang” itu. Dan akhirnya patung itu selesai dikerjakannya.

Setelah itu dirinya disuruh membuat diorama sejarah Indonesia untuk monumen nasional. “Saya diminta Bung Karno untuk membuat diorama sejarah perjuangan Indonesia. Tapi saya juga tidak punya pengalaman. Naun Bung Karno bilang tidak ada alasan untuk tidak bisa membuat diorama sejarah perjuangan Indonesia. Bung Karno bilang saya pasti bisa karena saya punya pengalaman perjuangan. Bagaimana pasang dinamit, menembak, bakar rumah musuh. Tantangan Bung karno ini pun saya lakukan.”

Lagi-lagi dirinya diberi semangat Bung Karno untuk membuat diorama itu. Kepada Edhi, ketika itu, Bung karno bilang; “Tega ya bila saya menyerahkan masalah sejarah bangsa ini kepada bangsa asing. Lalu bagaimana cara menggambarkan watak perjuangan bangsa ini untuk sejarah bangsamu kepada anak cucumu nanti”

Mendengar kata-kata Bung karno itu, dirinya memutuskan untuk membuat diorama. Dengan semangat pengabdian, dirinya akhirnya bisa menyelesaikan diorama sejarah perjuangan rakyat Indonesia sesuai keinginan Bung Karno itu.

Menurutnya membuat diorama sejarah tidak mudah. Dirinya harus membaca dulu diskripsi yang disiapkan. Dan kemudian turun ke lapangan (lokasi sejarah yang akan dibikin diorama). “Maka banyak tim untuk membuat diorama ini. Ada yang sejarawan untuk membikin diskripsinya, wawancara tokoh, menelusuri bangunan alam, sampai asesoris yang dipakai manusianya saat itu.

***

Karya karya besar yang Edhi ikut membuat kini menjadi sejarah dalam hidupnya. Tetapi, kebanggaan ternyata tidak dirasakannya hingga akhir usiannya. Karya besar yang dulu dibanggakan sebagai satu-satunya karya dan pengabdian besarnya kepada bangsa dan negara.

Moseum Nasional misalnya. Diorama sejarah perjuangan bangsa Indonesia yang merupakan karyanya saat ini telah rusah dan hancur berantakan, tidak karuan. Padahal dalam satu diorama sejarah ada puluhan patung, bahkan ada yang jumlah patungnya mencapai ratusan.

“Baru-baru ini saya pergi ke moseum nasional untuk melihat kondisi dioramanya. Begitu melihat kondisinya saat ini, saya langsung menangis. Semua sudah bubrah tidak seperti aslinya. Padahal diorama sejarah itu kita buat sesuai dengan kondisi saat itu, dan melibatkan sejarawan saat itu. ”

Diceritakan, diorama sejarah perjuangan itu telah jatuh ke tangan-tangan orang yang tidak becus mengelola dan tidak tahu sejarahnya. Semua diorama dicat minyak dan warnanya tidak sesuai dengan kenyataan sejarah waktu itu.

Kalau ada patung yang rusak, dicabut begitu saja dan tidak diganti. “Semua kegiatan seperti itu, saya tidak pernah diajak komunikasi untuk konsultasi. Padahal saya yang membuat itu. Dan hanya tinggal saya saksi sejarahnya, yang lainnya sudah tidak ada. Ini keterlaluan.”

Patung Ki Hajar Dewantoro, misalnya. Pada diorama sejarah pendidikan Tamansiswa. Dimana diorama itu digambarkan dengan guru dan siswa, kegiatan pengembangan kebudayaan dan logo “Tut Wuri Handayani”. Diorama itu dibuatnya dengan konsultasi dan pertimbangan Ki Hajar Dewantoro.

“Sekarang ini nasibnya sungguh kasihan. Patung Ki Hajar Dewantoro rusak, kepalanya putus. Tetapi patung itu bukannya diperbaiki tetapi dicopot begitu saja dan tidak diganti.”

Sebagai orang yang masih hidup dan yang membuat karya-karya bersejarah, dirinya merasa tidak pernah diajak konsultasi dengan penguasa. “Penguasa sekarang ini pada main borongan saja. Dan, borongan itu diserahkan kepada orang yang tidak tahu sejarah apa-apa. Saya yang membuatnya. Kalau ada apa-apa ya saya diajak konsultasi. Tidak usah bayar!” katanya.

Dirinya pun lantas heran ketemu dengan orang yang bertanggungjawab mengelola diorama itu. Orang itu tidak acuh terhadap semua bahan pembicaraan tentang diorama sejarah perjuangan itu. Tidak ada tanggapan dari apa yang disampaikan Edhi, bahkan ucapannya diabaikan begitu saja. “Saya kadang merasa aneh. Orang itu tidak tahu siapa saya. Padahal saya adalah orang yang membuat diorama itu,” uangkapnya dengan nada kesal.

***

Usia Edhi sudah 74 tahun. Banyak karya yang memakan pikiran, tenaga dan waktunya untuk bangsa Indonesia. Di usianya yang tua itu, Edhi masih keliahatan lincah. Hari-harinya masih disibukan pembuatan patung. Dan, saat ini dirinya sedang menyiapkan dua buku. Buku pertama tentang seni, dan kedua tentang perjalanan pengabdiannya kepada bangsa Indonesia. (sulistiono)