Friday, September 08, 2006

Edhi Sunarso: Mematung untuk Sejarah Bangsa

Perjuangan panjang dan perjalanan yang rumit dan akhirnya menjadi pematung besar. Menghasilkan karya-karya luar biasa dan menajdi simbol perjuangan bangsa Indonesia. Adalah Edhi Sunarso, kelahiran Salatiga 2 Juli 1932.

Pria yang saat ini sudah berusia senja dan tinggal di Jl Kaliurang Km 5,5 No 72 Yogyakarta. Rambutnya yang sudah memutih dan kulitnya yang keriput tidak memlemahkan semangatnya untuk berkarya seni patung.

Masyarakat umum, mungkin belum tahu persis siapa dirinya. Tetapi pasti sudah mengetahui bahkan sangat menikmati keindahan karya seninya. Tidak kurang dari

14 monumen dan 10 diorama sejarah bangsa Indonesia atas campur tangan keahliannya.

Antara lain, Monumen Tugu Muda ( Semarang), Monumen Selamat Datang (Jakarta), Monumen Pembebasan Irian Barat (Jakarta), Monumen Dirgantara (Jakarta), Monumen Pahlawan Nasional Kolonel Slamet Riyadi (Ambon), Monumen Jenderal Ahmad Yani (Bandung), Monumen Jenderal Gatot Subroto (Surakarta), Monumen Pahlawan Samudera Yos Sudarso (Surabaya), Monumen Pahlawan Samudera (Jakarta), Monumen Pangsa Sudirman di Museum PETA (Bogor), Monumen Pangsa Sudirman Cilangkap (Mabes ABRI) di Jakarta, Monumen Pancasila Sakiti Lubang Buaya (Jakarta), Monumen Yos Sudarso (Biak, Irian Barat), Monumen Pahlawan Tak Dikenal Digul (Papua), Monumen Sultan Thaha Syaifudin (Jambi).

Atau karya diorama sejarahnya, Diorama Sejarah Monumen Nasional, Diorama Sejarah Museum Lubang Buaya, Diorama Sejarah Moseum Pancasila Sakti Lubang Buaya, Diorama Sejarah Museum ABRI Satria Mandala, Diorama Sejarah Museum Keprajuritan Nasional (TMII) , Diorama Sejarah Museum Purba Wasesa (Jakarta). Kemudian Diorama Sejarah Museum Jogja Kembali, Diorama Sejarah Museum Benteng Vredeburgh (Yogyakarta) dan Diorama Sejarah Museum Tugu Pahlawan 10 Nopember Surabaya di Surabaya.

Meski usia sudah sepuh, semangat dia masih terlihat. Bicaranya masih keras dan lantang. Terbuka, apa adanya. Pengalaman hidupnya di masa perjuangan kemerdekaan memberikan spirit tersendiri.

Sosok Edhi tidak bisa dilepaskan dari sejarah perjuangan bangsa ini. Hasil kerja kerasnya di masa kemerdekaan, memvisualkan semangat perjuangan rakyat di jaman revolusi menjadi pelajaran berharga bagi generasi muda. Sehingga, generasi penerus mampu mengenal sejarah perjuangan bangsa yang penuh dengan derita dan pengorbanan.

“Semua karya sejarah di Indonesia ini pada awalnya tidak lepas dari keinginan Bung Karno yang saat itu ingin membuat karya seni perjuangan sebagai wujud tinggalan sejarah untuk generasi penerus bangsa Indonesia,” kenang Edhi.

Bagi dia, keseriusan untuk terus menerus membuat seni patung tidak lain hanya untuk pengabdian kepada bangsa dan negara. Semua patung dan diorama sejarah yang dibuatnya adalah gambaran semangat hidup untuk terus membangun bangsa Indonesia agar terbgun dari keterpurukan.

Dirinya pun tidak melepaskan egonya untuk membuat karya lain yang lepas dari koridor sejarah. Baginya, sebuah karya patung adalah ruang ekpresinya untuk mengungkapkan perasaannya tentang kehidupan ini.

Melalui seni patung dirinya bisa mepresentasikan pikirannya dengan bebas. Untuk itu, setiap karya seninya mengandung pesan darinya untuk bangsa ini. “Melalui seni patung semua pemikiran saya ungkapkan.”

***

Menjadi pematung tidak didapatkannya begitu saja. Perjalanan yang panjang dan tidak pernah lelah dalam belajar. Semanga itu yang telah membawa kehidupannya seperti sekarang ini.

Dengan semangat Edhi menceritakan awal karirnya menjadi pematung. Ternyata dirinya belajar seni bukan karena sekolah. Pada awalnya dia belajar otodidak hingga nasib membawanya pada satu titik puncak perjalanan hidupnya yang sukses menjadi pematung.

Awal perjalanan kehidupannya mulai terasa saat dirinya berumur 13 tahun. Saat itu dia masih menempuh pendidikan Sekolah Rakyat (SR) kelas V di salah satu sekolah di Jawa Barat.

Di usia yang masih terhitung belia itu, dia belum mengenal seni patung. Tepatnya tahun 1946, dia ikut berjuang sebagai komandan pasukan anak-anak dalam kesatuan pasukan Samber Nyawa Divisi I, Bataliyon III, Resimen Siliwangi.

Meskipun masih usia anak-anak, keastuannya memiliki tugas berat. Mengatntar peluru antar kota di Jawa Barat. Dia selalu mengantar peluru dari tentara kerajaan Belanda (KNIL) pro Indonesia, dan di bawa untuk diantarkan kepada pasukan RI di wilayah luar kota. Kegiatan seperti itu dia lakukan setiap kali pulang sekolah.

Selain mengantar peluru, dirinya juga menerima tugas untuk melakukan sabotase kegiatan orang Indonesia yang pro Belanda. Seperti membakar toko-toko milik orang Indonesia atau warga negara asing yanbg pro Belanda, memasang dinamit di jembatan, hingga membakar pabrik-pabrik yang dikuasai Belanda.

Tepat enam bulan, kegiatannya diketahui tentara Belanda, dan dirinya pun diancam. Ancaman itu tidak membuatnya patah semangat. Justru dirinya pun akhirnya meninggalkan tugas itu dan bergabung dengan para pejuang untuk melakukan perlawanan langsung.

Bulan Juli tahun 1946 dirinya ditangkap oleh pasukan Belanda. Dia dipenjara di Pegaden Baru, Jawa Barat. Dirinya dipindah tiga kali ke penjara Subang, Kalijati dan Purwakarta.

Di penjara itulah, di usianya yang masih kecil merasakan, setrum listrik, popor bedil, pukulan, tendangan untuk mau menunjukan dimana persembunyian Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang belum tertangkap. Meskipun mendapat siksaan, dirinya tetap diam seribu bahasa.

Pada suatu saat, dirinya juga sempat dipindah ke Kebon Baru, Bandung, untuk dipenjarakan di TNI CAMP. Di situlah, dirinya bergabung dengan 2.400 pejuang kemerdekaan. Di situ pula dirinya belajar smenggambar, bahasa Inggris, bahasa Indonesia dengan para pejuang.

Bulan Juli 1949, dirinya dibebaskan dari penjara. Selepas menjalani hidup dipenjara selama 3,5 tahun itu, dirinya pergi ke Yogyakarta, melewati Semarang. Dia berjalan kaki sendiri. Kadang pula menumpang mobil tentara belanda. Setelah melakukan perjalanan 24 hari, akhirnya sampai Semarang.

Perjalanan hidupnya memang berat. Sampai di semarang pun dirinya tergeletak sakit dan akhirnya dibawa oleh warga mengetahui kondisinya ke Rumah Miskin Kaligawe (semacam rumah sakit sosial milik Belanda). Dirinya menjalani perawatan hingga dua minggu.

Setelah sembuh dirinya meneruskan perjalanan ke Yogyakarta. Sampai di Salatiga, dirinya ditangkap oleh Tentara RI, karena dicurigai sebagai mata-mata. “Saat ditangkap tentara RI saya beruntung, karena komandan mereka dari solo ( Slamet Riyadi) datang dan memarahi anak buah mereka karena menangkap saya. Saat itu saya tawari untuk bergabung dan berjuang bersama mereka. Dan saya terima tawaran itu,” ceritanya.

Di bawah komando Slamet Riyadi, dirinya bergabung dengan pasukan Brigade SS (salah satu kompi dari brigade 17 Tentara Pelajar di Solo). Dia ditugaskan ke Ampel,Boyolali.

Di wilayah dirinta bertugas itulah dia bertemu dengan keluarganya yang selama ini meninggalkannya. Saat itu Edhi dikira telah meninggal. Dia ketemu dengan keluarganya. Di tempat tugasnya dia ketermu dengan Wiryono (kakak) Darjono (keponakan) dan Suharno (paman).

“Dari kecil saya pisah dengan keluarga karena saya dikira sudah meninggal saat perang kemerdekaan. Padahal saya diselamatkan Ibu Romlah, guru sekolah saya yang akhirnya saya dibawa lari ke jawa barat. Kita tahu kalau kita bersaudara karena wajah saya dengan kaka saya sangat mirip, seperti bercermin dikaca.”

Setelah itu akhirnya dirinya diajak ke rumah bapaknya di Salatiga. Di sana dia ketemu dengan bapaknya, Sukmo Sarjono, lurah di Takalrejo, Dolog, Nusukan, Salatiga. Ketemu dengan keluarga, dirinya merasa haru, tercekik, mencekam dan serba rikuh

“Akhirnya tujuh hari di rumah keluarga saya saya pamit untuk pergi ke Yogyakarta. Sebab, disana saya serba tidak nyaman. Apalagi semua kakak saya sudah berhasil semua dan pendidikannya juga tinggi, sedangkan saya di Sekolah Rakyat saya tidak lulus. Saya pamit ke Yogyakarta dan akan kembali jika saya sudah menjadi orang sukses. Akhirnya saya diberi alamat keponakan saya di Kotagede, Yogyakarta. Namanya Sundari yang tinggal dengan suaminya Wiryo Suparto.”

Saat itulah, dirinya hijrah ke Yogyakarta dan mundur dari pasukan Brigade SS pimpinan Slamet Riyadi. Di Yogyakarta dia mampir di rumah keponakannya di Kotagede. Di sana dia mendaftarkan diri di Kantor Urusan Demobiliasai Pejuang (KPDP) dan selama delapan hari di KPDP, dirinya selalu melewati Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI), tahun 1950.

Ketika melewati ASRI itulah dirinya sering melihat orang berlatih menggambar. Melihat aktifitas menggambar itu, dirinya selalu mengikuti ke mana pun lokasi siswa ASRI menggambar. “Ketika mereka pergi ke pasar untuk menggambar saya ikuti. Ketika mereka ke Malioboro saya ikuti. Lama-lama saya ikut dengan membawa kertas gambar sendiri dan saya juga ikut menggambar,” ungkapnya.

Beruntung, saat itu dirinya didatangi oleh pelukis senior, Hendra Gunawan. Dirinya didekati dan ditanya apakah mau bersekolah di ASRI. Dirinya ditawari itu karena hasil menggambarnya bagus.

“Akhirnya saya terima tawaran dan saya diperbolehkan ikut pelajaran praktek saja. Tidak boleh mengikuti teorinya. Tetapi saya selalu meminjam catcatan teman-teman di sana.”

Di situlah awal karir Edhi Sunarso menjadi pematung profesional. “Wah saat itu rasanya dunia saya mulai terbuka. Rasanya tidak pernah ada malam, karena malam pun saya pakai untuk mematung. Setiap sore hari sebelum petang, saya sisihkan waktu untuk meminjam buku catatan teman-teman di ASRI, karena saya tidak boleh ikut teori namun hanya praktek saja,” katanya seraya mengungkapkan bahwa dirinya baru diterima menjadi mahasiswa resmi setelah tiga tahun mengikuti pelajaran praktek dan lulus dalam ujian ekstra.

Tepat tiga tahun belajar di ASRI itulah, dirinya berhasil juara dua dalam lomba seni patung Internasional di Inggris. Patung itu bertema The Unknown Political Prisoner, pada tahun 1953.

Bersamaan dengan penerimaan juara itu bersamaa dengan peresmian Tugu Muda Semarang. Dirinya terlibat dalam pemnbuatan Tugu Muda Semarang dan dipercaya sebagai koordinator keuangan.“Dalam peresmian itulah saya kenal dengan Bung Karno dan bias berjabat tangan dengan beliau.”

Karirnya di bidang seni patung mulai meroket. Bebrerapa undangan ke luar negeri untuk mengikuti seminar, simposium di Polandia, Romania, China. “Saat itu saya masih berumur 22 tahun. Sepulang dari luar negeri, saya melanjutkan pendidikan di ASRI untuk jenjang opendidikan tingkat empat dan lima.”

Prestasi Edhi terus berkembang. Pada tahun 1957, dirinya mendapat mendali emas dari pemerintah India karena patungnya terpilih menjadi Karya Seni Patung terbaik dunia, periode 1956 -1957.

Atas prestasinya yang bagus, tahun 1958 dirinya diangkat sebagai calon tenaga pengajar di ASRI yang telah berubah nama menjadi STSI (Sekolah Tinggi Seni Indonesia). Tahun 1960 resmi diangkat menjadi pengajar tetap dan diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS). “Tahun 1960 perkembangan seni patung belum bagus. STSI kemudian membuka jurusan seni patung secara tersendiri. Semula seni patung digabung dengan seni lukis. Dirinya pun dipercaya untuk memimpin jurusan itu.”

***

Perkenalan dengan Bung Karno pada peresmian Tugu Muda di Semarang, telah membawa berkah dirinya. Tahun 1959 dirinya dipercaya Bung karno untuk membantu pendirian Museum Nasional, dan kemudian juga dipercaya untuk membuat patung “Selamat Datang” di Jakarta. Patung itu dipersiapkan untuk menyambut para olah ragawan dari luar negeri, dalam Asean Game di Indonesia.

Dirinya sempat berfikir keras untuk menerima tantangan dari Bung Karno itu. Sebab, dirinya pada waktu itu tidak memunyai pengalaman membuat patung besar apalagi yang bahannya dari perunggu.

Saya sempat ragu-ragu karena saya tidak punya pengalaman. Namun, dirinya sangat ingat betul dukungan Bung Karno waktu itu. Kepadanya Bung Karno bilang “Kamu punya kesadaran berbangsa tidak? Kalau punya, kamu pasti bisa! Saya tidak rela kalau patung itu saya suruh buatkan negara lain,” begitu kata Bung Karno kepada Edhi.

Waktu seminggu yang diberikan klepada Edhi untuk berfikir akhirnya tidak disia-siakan. Dengan bantuan teman-temannya di Yogyakarta akhirnya dirinya menyatakan sanggup membuat patung “Selamat Datang” itu. Dan akhirnya patung itu selesai dikerjakannya.

Setelah itu dirinya disuruh membuat diorama sejarah Indonesia untuk monumen nasional. “Saya diminta Bung Karno untuk membuat diorama sejarah perjuangan Indonesia. Tapi saya juga tidak punya pengalaman. Naun Bung Karno bilang tidak ada alasan untuk tidak bisa membuat diorama sejarah perjuangan Indonesia. Bung Karno bilang saya pasti bisa karena saya punya pengalaman perjuangan. Bagaimana pasang dinamit, menembak, bakar rumah musuh. Tantangan Bung karno ini pun saya lakukan.”

Lagi-lagi dirinya diberi semangat Bung Karno untuk membuat diorama itu. Kepada Edhi, ketika itu, Bung karno bilang; “Tega ya bila saya menyerahkan masalah sejarah bangsa ini kepada bangsa asing. Lalu bagaimana cara menggambarkan watak perjuangan bangsa ini untuk sejarah bangsamu kepada anak cucumu nanti”

Mendengar kata-kata Bung karno itu, dirinya memutuskan untuk membuat diorama. Dengan semangat pengabdian, dirinya akhirnya bisa menyelesaikan diorama sejarah perjuangan rakyat Indonesia sesuai keinginan Bung Karno itu.

Menurutnya membuat diorama sejarah tidak mudah. Dirinya harus membaca dulu diskripsi yang disiapkan. Dan kemudian turun ke lapangan (lokasi sejarah yang akan dibikin diorama). “Maka banyak tim untuk membuat diorama ini. Ada yang sejarawan untuk membikin diskripsinya, wawancara tokoh, menelusuri bangunan alam, sampai asesoris yang dipakai manusianya saat itu.

***

Karya karya besar yang Edhi ikut membuat kini menjadi sejarah dalam hidupnya. Tetapi, kebanggaan ternyata tidak dirasakannya hingga akhir usiannya. Karya besar yang dulu dibanggakan sebagai satu-satunya karya dan pengabdian besarnya kepada bangsa dan negara.

Moseum Nasional misalnya. Diorama sejarah perjuangan bangsa Indonesia yang merupakan karyanya saat ini telah rusah dan hancur berantakan, tidak karuan. Padahal dalam satu diorama sejarah ada puluhan patung, bahkan ada yang jumlah patungnya mencapai ratusan.

“Baru-baru ini saya pergi ke moseum nasional untuk melihat kondisi dioramanya. Begitu melihat kondisinya saat ini, saya langsung menangis. Semua sudah bubrah tidak seperti aslinya. Padahal diorama sejarah itu kita buat sesuai dengan kondisi saat itu, dan melibatkan sejarawan saat itu. ”

Diceritakan, diorama sejarah perjuangan itu telah jatuh ke tangan-tangan orang yang tidak becus mengelola dan tidak tahu sejarahnya. Semua diorama dicat minyak dan warnanya tidak sesuai dengan kenyataan sejarah waktu itu.

Kalau ada patung yang rusak, dicabut begitu saja dan tidak diganti. “Semua kegiatan seperti itu, saya tidak pernah diajak komunikasi untuk konsultasi. Padahal saya yang membuat itu. Dan hanya tinggal saya saksi sejarahnya, yang lainnya sudah tidak ada. Ini keterlaluan.”

Patung Ki Hajar Dewantoro, misalnya. Pada diorama sejarah pendidikan Tamansiswa. Dimana diorama itu digambarkan dengan guru dan siswa, kegiatan pengembangan kebudayaan dan logo “Tut Wuri Handayani”. Diorama itu dibuatnya dengan konsultasi dan pertimbangan Ki Hajar Dewantoro.

“Sekarang ini nasibnya sungguh kasihan. Patung Ki Hajar Dewantoro rusak, kepalanya putus. Tetapi patung itu bukannya diperbaiki tetapi dicopot begitu saja dan tidak diganti.”

Sebagai orang yang masih hidup dan yang membuat karya-karya bersejarah, dirinya merasa tidak pernah diajak konsultasi dengan penguasa. “Penguasa sekarang ini pada main borongan saja. Dan, borongan itu diserahkan kepada orang yang tidak tahu sejarah apa-apa. Saya yang membuatnya. Kalau ada apa-apa ya saya diajak konsultasi. Tidak usah bayar!” katanya.

Dirinya pun lantas heran ketemu dengan orang yang bertanggungjawab mengelola diorama itu. Orang itu tidak acuh terhadap semua bahan pembicaraan tentang diorama sejarah perjuangan itu. Tidak ada tanggapan dari apa yang disampaikan Edhi, bahkan ucapannya diabaikan begitu saja. “Saya kadang merasa aneh. Orang itu tidak tahu siapa saya. Padahal saya adalah orang yang membuat diorama itu,” uangkapnya dengan nada kesal.

***

Usia Edhi sudah 74 tahun. Banyak karya yang memakan pikiran, tenaga dan waktunya untuk bangsa Indonesia. Di usianya yang tua itu, Edhi masih keliahatan lincah. Hari-harinya masih disibukan pembuatan patung. Dan, saat ini dirinya sedang menyiapkan dua buku. Buku pertama tentang seni, dan kedua tentang perjalanan pengabdiannya kepada bangsa Indonesia. (sulistiono)

No comments: